Medio Mei 2018 sempat viral di media sosial, sandal bertuliskan kata-kata Arab
yamin (kanan) dan
syimal (kiri). Gambar tersebut beredar dari satu akun ke akun lainnya dengan cepat disertai beragam komentar mempertanyakan kok tulisan Arab ditaruh di sandal yang diinjak kaki. Yang tidak paham bahasa Arab menganggapnya ini sebagai penghinaan terhadap ayat Al-Qur’an, tanpa tabayun dahulu. Kasus lain, sempat beredar video Al-Qur’an yang tulisannya tidak umum sebagaimana lazimnya di Indonesia. Beberapa orang menganggapnya sebagai upaya penyesatan terhadap Al-Qur’an. Padahal, cara penulisan yang diperdebatkan merupakan salah satu bentuk cara
penulisan Maghribi yang mutawatir.
Situasi ini menggambarkan betapa pengetahuan Muslim Indonesia tentang ajaran Islam sendiri masih terbatas. Dan media sosial yang memudahkan orang berbagi sesuatu, yang sayangnya tidak mengajak untuk berpikir atau bertanya secara kritis, tetapi malah memberi komentar yang ternyata tidak tepat dan membuat hal-hal yang sebetulnya biasa saja menjadi kehebohan. Ada semangat yang tinggi untuk menjaga kehormatan dan kesucian agama, sayangnya kapasitas ilmu terbatas.
Ada banyak teori tentang kapan masuknya Islam ke wilayah Nusantara. Teori paling awal mengatakan bahwa pada abad ketujuh Masehi, sudah ada penyebaran Islam di Nusantara. Pendekatan lain mengatakan bahwa Islam didakwahkan di Nusantara sekitar abad 13. Kemungkinan penyebaran secara lebih masif pada periode belakangan dengan menjangkau kalangan elite keraton baru menyebar ke masyarakat umum atau masyarakat pesisir yang secara langsung berinteraksi dengan para pedagang.
Keberislaman di Nusantara pada awalnya lebih menekankan pada kemampuan menjalankan aspek ubudiyah seperti menjalankan shalat, puasa, zakat atau berhaji. Untuk mampu memahami ajaran Islam secara memadai, seorang Muslim harus belajar di pusat-pusat pengkajian Islam yang sebagian besar berada di jazirah Arab. Dan tak banyak yang bisa menjangkau ke sana pada awal-awal masuknya Islam di Indonesia. Secara umum, juga, tak banyak yang betul-betul mendedikasikan dirinya belajar agama di pesantren atau lembaga pendidikan Islam lainnya sampai mumpuni dan memahami berbagai ajaran Islam secara utuh. Ini yang menjadikan pengetahuan Muslim awam akan berbagai aspek ajaran Islam hanya sekadarnya saja.
Persoalan muncul ketika dunia semakin terbuka, terdapat persentuhan dengan dunia luar yang semakin intens. Ragam pendapat atau amaliah yang berbeda dengan yang biasanya dijalankan di Indonesia muncul. Inilah yang menimbulkan kekagetan-kekagetan bagi sebagian orang, apalagi ditambah dengan kemudahan berbagi melalui media sosial dan kecenderungan untuk suka mengomentari banyak hal, sekalipun minim pengetahuan.
Banyaknya kejadian terkait kesalahpahaman karena perbedaan pandangan ini sudah seharusnya menjadi perhatian bersama di kalangan pemangku kepentingan umat Islam Indonesia untuk lebih memperkaya wawasan akan keragaman pandangan Islam dalam berbagai persoalan. Sayangnya, sebagian tokoh agama melakukan pendekatan indoktrinatif bahwa hanya Islam versi yang diajarkan yang paling benar sedangkan ajaran lain atau mazhab lain, dianggapnya salah. Situasi ini berbahaya dalam kehidupan masyarakat yang berragam dan semakin terbuka.
Malangnya, teknologi algoritma yang mampu mengidentifikasi minat seseorang dalam bidang tertentu dan kemudian mengarahkan informasi sesuai dengan minatnya membuat seseorang menjadi semakin sempit pengetahuannya. Karena apa yang muncul di media sosial adalah informasi yang senada atau meneguhkan keyakinan yang sudah dimiliki sebelumnya. Akibatnya, dunia dipahami sebagaimana informasi yang diperoleh melalui gawainya.
Menyajikan keragaman pendapat dalam satu persoalan akan membantu masyarakat memahami ragam pandangan ulama. Sebagai contoh, kehebohan warganet atas tata cara berwudhu yang dilakukan oleh
salah satu cawapres dapat menjad hikmah tersediri akan berbagai model cara berwudhu yang dianggap sah oleh para ulama.
Sebelumnya, perdebatan panjang muncul terkait persoalan apakah shalat tarawih 11 atau 23, apakah menyentuh istri membatalkan wudhu, qunut dalam shalat subuh, mengeraskan dzikir, dan lainnya. Energi umat Islam terfokus untuk memperdebatkan hal-hal khilafiyah tersebut. Beruntung, perdebatan soal tersebut sudah cukup banyak berkurang dengan berkembangnya pengetahuan dan tumbuhnya penghargaan atas tata cara beribadah yang lain.
Langkah paling ideal tentunya adalah dengan mempelajari banyak ragam pendapat tersebut sehingga kita memahami argumentasi dari masing-masing pendapat terhadap satu persoalan yang dihahas. Semangat berislam yang tinggi inilah yang harus diarahkan untuk mempelajari Islam dengan baik, bukan hanya mengamalkannya. Banyak rujukan yang menyatakan bahwa mempelajari ilmu agama lebih mulia daripada hanya fokus pada ibadah ubudiyah saja, yang bisa mengarahkan pada kepicikan dalam memandang ajaran agama.
Banyak orang sangat emosional ketika ada anggapan ajaran agama dihinakan menurut tokoh agama yang dipercayainya dan bersedia melakukan demo, bahkan bersedia mati untuk agama, tetapi mereka tidak mendedikasikan waktu dan energinya untuk belajar agama. Tak mudah memang, karena belajar agama butuh sikap istiqamah. Bagi mereka yang mampu menjalaninya, akan memperoleh pengetahuan yang mendalam dan sikap bijak.
Bagi mereka yang tidak memiliki kapasitas dan waktu untuk melakukan pengajian Islam secara mendalam, minimal yang bisa dilakukan seharusnya adalah dengan belajar menghargai pendapat orang lain dan berusaha memahami argumentasi tanpa terlebih dahulu menghakiminya. Islam sangat kaya dan beragam. Mazhab fiqih saja ada empat, belum lagi bidang kajian Islam lainnya. Dengan demikian, tidak akan menjadi orang yang kagetan jika ada sesuatu yang tidak lazim diamalkan di Indonesia. (Achmad Mukafi Niam)