Kiai Ahmad Shiddiq adalah ulama NU kontemporer yang sangat rigid dalam berpikir. Prinsip ahlussunnah dan prinsip nahdliyah benar-benar menjadikan rujukannya. Dengan adanya prinsip semacam itu, maka mudah baginya untuk membedakan mana pemikiran yang menyalahi dan sesuai dengan prinsip tersebut. Dengan kenyataan itu maka pemikiran Kiai Ahmad Shiddiq selama menjadi Rais Aam PBNU selalu menjadi rujukan warga NU dan bangsa ini secara keseluruhan, mengingat orisinalitas pemikirannya.
Ketika terjadi perkembangan pemikiran yang makin keluar dari prinsip Nahdliyah, maka dia melakukan kritik bahwa NU bukan seperti koper yang bisa diisi apa saja oleh pembawanya. Juga bukan seperti taksi yang bisa dibawa ke mana saja oleh penyewanya, tetapi seperti kereta yang memiliki arah dan tujuan sendiri berdasarkan rel atau khittah yang telah ditetapkan. Saat ini, khazanah pemikiran NU memang telah banyak diisi oleh pemikiran negatif dari luar, sehingga memudarkan sinar keilmuan dan pemikiran NU.
<>Akibat dari keseluruhan itu, maka kalangan NU tidak lagi kreatif mengembangkan tradisi pemikiran sesuai dengan arah dan tujuannnya sendiri. Sebaliknya, justru mereka saat ini menjalankan agenda orang lain yang tidak sepenuhnya sesuai dengan tradisi NU. Sayangnya, hal itu yang disebut dengan modern, progresif bahkan liberal. Memang mereka dinamis dalam menyerap dan meniru gagasan orang, tetapi tidak kreatif dalam mengembangkan gagasan sendiri. Akhirnya mereka melihat NU dan pesantren seperti orang luar atau orang lain melihat, sehingga menimbulkan adanya prasangka.Ketidakpercayaan diri terhadap NU beserta tradisi serta khazanah intelektualnya itu membuat mereka hanya meniru. Karena meniru pemikiran, mereka kehilangan akar kesejarahan, dan kehilangan kontek kemasyarakatan. Akhirnya juga mengalami kejenuhan dan kemandekan. Kalaupun berkembang hanya di lingkungan akademik yang terbatas, yang pelan-pelan juga mengalami kebosanan. Karena itu, walaupun sudah berjalan belasan tahun, tetapi belum melahirkan karya orisinal yang memadai.
Tradisi keilmuan pesantren seperti ilmu tasawuf, ilmu lughah, ilmu falak, ilmu kanuragan, ilmu ketabiban, ilmu metalurgi, termasuk ilmu sejarah, belum mendapatkan perhatian kelompok intelektual itu secara serius. Mereka masih disibukkan oleh isu parsial dan superfisial. Pengembangan keilmuan ini membutuhkan ketekunan yang luar biasa serta dedikasi yang tinggi. Sementara, generasi saat ini sangat pragmatis bahkan instan dalam berpikir. Makanya mengikuti tema-tema populer lebih disenangi, lebih mudah dan lebih menguntungkan secara materi. Tidak perlu ada profesi apalagi dedikasi.
Walaupun pragmatisme berpikir kalangan intelektual telah begitu besar, namun di lingkungan NU masih kita saksikan para ilmuwan pesantren yang menguasasi berbagai disiplin keilmuan sejak dari metafisika seperti tasawuf, tauhid, juga di bidang fisika seperti falak, optik, dan ketabiban. Dengan tanpa lelah mereka mengembangkan keilmuannya, mampu mengembangkan teknologi mereka sendiri, sehingga mereka bisa berdialog setara dengan para ilmuwan modern di perguruan tinggi umum.
Melihat kenyataan itu, maka gerakan yang dilakukan sebagian kalangan pemuda NU untuk melakukan perubahan paradigma pemikiran dalam organisasi keagamaan ini menjadi relevan, sebab NU memiliki tradisi pemikiran sendiri yang mampu menjadi alternatif pemikiran kontemporer. NU juga bisa menjadi subyek yang menilai dunia, bukan menjadi objek yang diteliti dan dinilai secara negatif oleh komunitas lain. Demikian juga gagasan ketua umum PBNU untuk mengubah posisi NU dari berpikir keagenan dan impor menjadi pemikir kreatif yang mampu mengekspor gagasan-gagasan segar pada dunia lain. Sebab menurut Kiai Hasyim Muzadi, NU lahir dengan membawa gagasan pesantren ke dunia luar yakni di pusat dunia Islam Mekah, sebuah ajakan kehidupan beragama yang plural dan toleran.
Semuanya itu perlu penggodokan untuk pematangan, maka diperlukan kesabaran. Pengetahuan tentang sejarah masing-masing disiplin keilmuan menjadi penting sehingga mampu mengenal berbagai varian pemikiran yang berkembang di kalangan mereka dari satu zaman ke zaman yang lain. Pemikiran kreatif memang memerlukan ketekunan dan dedikasi yang tinggi, keikhlasan serta kezuhudan. Persyaratan itu berat, tetapi kalau berhasil akan mendorong sebuah perubahan besar di masa depan.
Apapun alasannnya, mental kemandirian harus diutamakan, sebab tanpa kemandirian dalam berpikir seseorang tidak bisa berpikir kreatif. Para ulama bisa mengembangkan ilmu dan teknologi mereka karena mereka tekun dan mandiri. Dengan demikian, koper NU atau khazanah NU tidak lagi diisi berbagai gagasan sampah yang mengalir dari gelombang budaya luar. Sebaliknya, bisa diisi dengan pemikiran kreatif dan orisinal dari warganya sendiri. (Mun’im DZ)