Berkaitan dengan dirayakannya hari pers nasional banyak keprihatinan yang muncul mengenai ancaman kebebasan pers setelah masa reformasi. Lembaga yang selama ini memberangus pers, yaitu sosok Soeharto terutama Departemen Penerangannya sudah dilikuidasi, sehingga pers sempat menikmati kebebasannya. Namun belakangan ini pers kembali dihantui oleh ancaman terhadap kebebasannya, bukan hanya oleh negara tetapi juga oleh kelompok pengusaha, lembaga politik, kelompok preman, lembaga social yang lain termasuk agama.
Selama masa orde baru pers bisa melihat banyak hal, tetapi sedikit yang bisa dipublikasikan, yang sisanya kemudian dikembangkan dalam bentuk rumor, atau catatan bawah tanah. Pers tidak diberi kebebasan tetapi selalu dituntut tanggung jawab, bila tidak sesuai dengan ketentuan, hanya ada satu kata bredel. Beberapa media telah menjadi korban kebengisan orde baru. Tetapi semuanya telah menjadi masa lalu, namun bukan berarti tidak bisa berulang.
<>Setelah masa reformasi memang pers sempat menikmati kebebasan, bahkan mendapat kehormatan sangat tinggi, terutama zaman pemerintahan Abdurrahman Wahid. Tetapi Koran menggunakan kebebasan dengan melampaui batas, sopan santun diabaikan bahkan kode etik sudah dilanggar, banyak kelompok masyarakat jadi korban, tentu saja korban utamanya bekas penguasa orde baru. Selain itu beberapa tokoh menjadi objek pembunuhan karakter, termasuk belakangan Abdurrahman Wahid yang gigih membela kebebasan pers itu juga menjadi kurban berikutnya dari kebebasan pers.
Pada masa reformasi pers hanya mau kebebasan tetapi tidak mau bertanggung jawab, akibatnya banyak kurban yang dirugikan. Baru ketika Presiden Wahid jatuh, pers kembali mendapatkan hambatan dalam mendapatkan akses informasi. Kemudian terus menerus kebebasannya direduksi baik oleh kelompok eksekutif, legislatif dan judikatif, dan beberapa kelompok lain kelihatannya juga akan muncul sebagai ancaman dari kebebasan pers, pers hanya bisa berteriak, tetapi tidak mau mengubah sikapnya.
Kebebasan itu saat ini digunakan pers dengan sebebas bebasnya tanpa tenggang rasa, tanpa komitmen, dan kelihatannya kemampuan jurnalistik yang semakin rendah, sehingga memperparah semua itu. Coba lihat belakangan ini pers mencaci maki tokoh politik, tokoh masyarakat atau artis dengan bahasa sarkas. Dalam situasi darurat seperti di Maluku atau Aceh mereka memberitakan begitu lugas hingga merugikan kepentingan nasional. Bagaimana waktu itu pers mengekspos gambar besar tentang kesiapan GAM dalam menghadapi TNI, seolah pers berada pada posisi GAM.
Begitu pula bisa disaksikan pers mengekspos gambar korban pembunuhan atau pemboman yang mengerikan di beberapa tempat dengan vulgarnya. Padahal ekspos terhadap korban kekerasan itu sendiri juga merupakan bagian dari kekerasan dan ini jelas-jelas melanggar kode etik jurnalistik. Tetapi hal itu berjalan terus seolah tanpa ada kontrol dari lembaga pers baik PWI, AJI atau pemantau pers lainnya.
Saat ini muncul tradisi yang lebih vulgar lagi, betapa bebasnya pers mengeskpos pornografi. Foto wanita seronok sengaja dipampang sebagai barang dagaangan. Begitu juga iklan seks muncul di berbagai media dengan bebasnya. Kelihatannya semuanya berjalan secara wajar, padahal ribuan masyarakat prihatin dan marah terhadap keadaan ini. Karena persoalan ini bisa menghancurkan tata nilai yang berlaku pada masyarakat manusia beradab.
Kebebasan telah dijalankan secara kebablasan, pada gilirannya hal itu akan mengancam diri sendiri. Sebab semua pihak seperti eksekutif, legislatif dan judikatif telah memasang jaring untuk membendung kebebasan pers, dengan menciptakan berbagai undang-undang dan peraturan yang membatasi. Belum lagi kelompok pengusaha mulai memperkuat ahli hukum perdagangan untuk mengamankan posisisinya dari serangan pers. Tidak kalah pentingnya kalangan agamawan, terutama sayap radikalnya kelihatannya juga tidak tinggal diam, mempersiapkan undang-undang anti pornografi, yang semuanya bakal membelenggu kebebasan pers.
Dalam merayakan ulang tahunnya ini mestinya pers mawas diri, bukan hanya terlalu sadar terhadap harga diri, membantai ribuan orang dengan biasa, tetapi begitu disinggung sedikit sudah merasa dihina lalu membuat berbagai manuver di tingkat nasional dan internasional, untuk membela hargadiri yang sebenarnya telah dijatuhnkan sendiri. Kita butuh pers yang kritis, jeli, korek, cermat dan akurat tetapi elegan dalam bersikap. Pers semacam itu yang bisa menjadi pedoman masyarakat, bisa mendidik, mengajak masyarakat pada kemajuan.
Maka sekarang ini pers mesti mengembalikan fungsinya sebagai lembaga edukasi untuk semua pihak, agar bangsa ini terus memperoleh kemajuan setara dengan bangsa yang lain, baik dari segi ilmu dan peradaban. Walaupun hal ini susah tetapi bukan tidak mungkin, sebab selera masyarakat bisa dibentuk, dan pers salah satunya sebagai alat, kalau selera dipertinggi, diperluhur maka masyarakat tidak lagi tergantung pada selera rendahan. Ini bentuk pendidikan yang sangat nyata. (MDZ).***