NEGARA Kesatuan yang diusahakan dan yang dipetarhankan oleh NU bukan sembarangan NKRI, tetapi NKRI yang benar-benar bebas dan mandiri dari segala intervensi asing. Demikian penegasan Rais Aam PBNU, KH Sahal Mahfudz dalam pidato iftitahnya yang disampaikan saat pembukaan Musyawarah nasional Alim Ulama dan Konfrensi Besar Nahadlatul Ulama di Surabaya.
Pernyataan itu ditegaskan bukan menunjuk suatu hal yang ada sudah sempurna, justru saat ini terlihat berbagai problem yang dihadapi oleh NKRI. Selain persoalan sparatisme, soal pudarnya identitas nasional, maka saat ini serangan terhadap kemandirian dan kedaulatan bangsa ini juga semakin gencar, sehingga ketahanan nasional, baik dari segi akidah, ideologi, politik dan ekonomi juga mengalami kebobolan.
<> Sebagai akibat dari semua itu, menurut Rais Aam Syuriah PBNU itu, pemerintah dan negara kehilangan kemampuananaya untuk melindungi dan menyejahterakan rakyat. Munculnya berbagai kelompok ekstrem yang manggangu keutuhan bangsa, serta menganggu ketenangan tradisi dan budaya masyarakat lokal, belum mendapat jaminan dari pemerintah yang ada. Terlebih lagi soal kesejahteraan rakyat saat ini benar-benar memprihatinkan, karena hampir semua sektor ekonomi yang strategis diserahkan pada pihak asing, sehingga hasilnya tidak bisa ditasyarufkan untuk kepentingan rakyat, tetapi dihisap oleh bangsa lain yuang sengaja menjajah bangsa ini.Sudah semestinya penegasan Kiai sahal tersebut direspon oleh para Musyawirin, sehingga bisa dirumuskan sebagai agenda kerja. Agenda itu kemudian diaplikasikan sebagai sebuah gerakan nyata. Ini arti sesungguhnya bagi penegasan pada NKRI, bahawa ini siap mempertahankan, siap membela dan berjuang serta melawan siapa saja yang mengganggu atau mengancam keutuhan NKRI. Yang di dalamnya termasuk usaha untuk mengikis komitmen pada Pancasila dan upaya pengikisan paham kebangsaan.
Selain itu, pernyataan Rais Aam tersebut juga berarti bahwa tidak benar kalau NU saat ini telah bergeser ke kanan, yang cenderung fundamentalis, terbukti dengan penolakannya formalisasi syariah sebagai dasar Negara. NU tetap menghendaki negara berdasarkan Pancasila yang pluralis. Tidak saja mengakomodasi seluruh mazhab islam yang ada, tetapi juga melindungi agama dan ideologi yang lain. Penegasan bahwa NU akan tetap memperjuangkan pluralitas bangsa ini, terutama terhadap kebudayaan lokal, dengan sendirinya untuk mnepis bahwa NU semakin eksklusif, terutama setelah menyetujuan rancangan UU anti pornografi. Apa yang ditentang dari pornografi adalah bahwa hal itu merendahkan derajat manusia, dan celakana penghinaan terhadap manusia, terutama pada wanita, termasuk wanita muslimah itu dilakukan oleh para kapitalis, sebagai sarana dagang.
Bagi NU pengumbaran aurat itu mesti ditentang karena bertentangan dengan ajaran Islam. Lagi pula penelanjangan itu dilakuka oleh para kapitalis, tidak hanya akan merusak moral, tetapi akan menghancurkan potensi ekonomi nasional, sehingga pakaian local dan pakaian muslim harus diganti dengan pakaian minim yang didesain para pemilik modal, yang ini justru melakukan penyeragama total, sehingga mengganggu ekspresi pakaian lokal.
Ahlussunnah sebagai akidah dan Pancasila setia UUD 45 sebagai dasar dan ideologi negara selalu menjadi acuan NU dalam berpikir dan bertindak. Dengan demikian seluruh pemikiran dan tindakan haruslah dilandasi atas nilai-nilai Islam dan Pancasila. Dengan demikian apa yang dilakukan tidak sembarangan, tetpi berdiri di atas prinsip-prinsip yang jelas, dan dengan cara serta tujuan yang jelas pula. Langkah itu yang menhindarkan NU terjebak dalam pragmatisme dan terbebas dari jebakan kapitalisme yang terdapat di seluruh lini kehidupan.
Maka, sekali lagi, Rois Aam menegaskan bahwa dalam menjalankan kehidupan, NU berangkat dari nilai spiritualitas, yang kemudian mengapliksikannya dalam realitas, sehingga lahirlah manusia yang memiliki integritas. Dengan adanya integritas moral dan intelektual itu, maka NU bias menjadi panutan, baik oleh warganya sendiri dan oleh seluruh bangsa ini.
Penegasan pada NKRI yang dilakukan NU, dengan demikian bukan penegasan yang kosong, tetapi penegasan yang penuh makna dan syarat nilai, sebab penegasan itu dilandasi beberapa prinsip sebagaimana yang disebutkan di atas, baik bersumber dari Islam maupun Pancasila. Ituilah landasan pertama dalam memerkuat kesatuan dan keutuhan negeri ini. (Abdul Munim DZ)