Risalah Redaksi

Peralihan Beduk ke Speaker

Kamis, 19 November 2009 | 07:10 WIB

Seruan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kalimantan Selatan untuk mengatur penggunaan load speaker di masjid dan mushalla yang sudah dianggap mengganggu kenyamanan lingkungan ini patut kita perhatikan. Kritik semacam itu  sebenarnya sudah lama dirasakan, tetapi belum ada yang berani melontar keluar. Maka seruan MUI itu dianggap keberanian yang perlu mendapatkan perhatian, apalagi persoalan ini memiliki sejarah politik yang cukup panjang di negeri ini.

Hadirnya madzhab yang berbeda dalam Islam sangat mewarnai citra keislaman di negeri ini. Islam yang datang awal mengapresiasi sepenuhnya kebudayaan local, sehingga Islam diterima masyarakat secara massif bahkan kemudian Islam tidak hanya menjadi agama, tetapi kemudian terinternalisasi menjadi tradisi. Tradisi Islam ini termanifestasi dalam sikap hidup sehari, hari maupun dalam produk-produk kebendaan termasuk arsitektural.<>

Beduk adalah salah satu bentuk adaptasi Islam terhadap kebudayaan lokal, sehingga peralatan peninggalan zaman lama itu dikukuhkan sebagai sarana keagamaan dan bahkan kemudian menjadi symbol keislaman yang khas Nusantara.

Datangnya aliran Islam baru yang lebih puritan, berusaha memurnikan Islam dari nilai-nilai tradisi setempat, Islam harus diarabkan kembali, sehingga timbul puritanisasi besar-besaran sejak pertengahan abad ke-19. Segala sesuatu ditimbang kembali sesuai  tradisi Arab dan zaman Nabi secara sempit. Maka semua perangkat agama dan peribadatan Islam yang lama yang telah menyatu dengan tradisi itu dianggap sebagai bid’ah. Penggunaan beduk di masjid-masjid adalah salah satu bentuk kebid’ahan yang harus dibersihkan karena Nabi Muhammad SAW tidak pernah menggunakan beduk di masjid.

Karena tradisi menggunakan beduk itu sebagai sarana penting sebagai petanda dimulainya sembahyang lima waktu, maka tetap digunakan karena manfaatnya sangat besar, bahkan telah dianggap sebagai perlengkapan yang tidak bisa dipisahkan dengan masjid. Masjid tanpa beduk dianggap kurang afdol, ia hanya berstatus langgar atau bangunan biasa.

Tetapi ketika mulai memasuki orde baru posisi NU di semua sektor publik mulai dipinggirkan, sementara kelompok Islam modernis yang puritan lebih banyak diperankan, maka  berbagai masjid mulai mengistirahatkan beduk mereka, dibuang atau dimasukkan gudang, karena beduk dianggap bid’ah. Sebagai gantinya dipakailah pengeras suar. Hanya masjid di lingkungan NU dan pesantren yang tetap menggunaakan beduk, di samping pengeras suara. Bahkan saat itu Departemen agama mulai turut menggalakkan debedukisasi sebagai alternatifnya digalakkan juga spekerisasi, sehingga Islam yang syahdu menjadi Islam yang riuh. Walaupun sarana ini tidak ada Zaman Nabi Muhammad tetapi tidak dianggap bid’ah, sehingga sejak saat itu tidak hanya masjid, langgar, surau dan langgar pun mulai ramai-ramai menggunakan pengeras suara. Akibatnya ketika masuk waktu shalat maka secara serentak masjid, mushalla yang banyak jumlahnya di satu kawasan menyuarakan adzan bersamaan, sehingga tidak ada yang bisa didengarkan secara khidmat. Maka speaker yang semula diniatkan untuk memperdengarkan adzan, sebaliknya kemudian malah terjadi pengaburan suara adzan.

Dalam perjalanan waktu, speaker di masjid dan langgar digunakan sesuai dengan kepentingan sendiri: sebagai sarana untuk azan, untuk pengajian dan lain sebagainya, sehingga suasana menjadi riuh. Sebenarnya tidak semua umat Islam setuju dengan cara ini, apalagi kalangan non Islam. Tetapi tidak ada yang berani mengungkapkan ketidaksetujuannya karena khawatir dianggap anti Islam. Maka keresahan yang disampaikan oleh Majelis Ulama Indonesia Kalimantan Selatan untuk menata penggunaan speaker di Masjid itu dianggap sebagai langkah tepat yang penuh keberanian.

Pada mulanya seruan penggunaan speaker itu telah diatur sedemikian rupa, tetapi lama kelamaan peraturan dilupakan sehingga pengeras suara digunakan sesuka hati, sehingga mengganggu orang belajar, mengganggu orang tidur dan sebagainya. Apalagi ketika kelompok Islam puritan yang bergaris keras mulai menguasai masjid, maka speaker digunakan untuk memaksa orang lain untuk ikut pengajian untuk segera sembahyang padahal kondisi mereka berbeda-beda. Bahkan tidak sedikit ceramah di masjid yang disertai caci maki terhadap tokoh yang menjadi lawannya, maka upaya penertiban yang diserukan kalangan pimpinan Islam sendiri ini perlu mendapatkan perhatian, agar Islam menjadi agama yang tetap syiar, tetapi lebih hening, santun dan piawai di hadapan umatnya sendiri dan umat yang lain.

Penggunaan beduk pada waktu itu memang sebuah pilihan cukup arif, ia sebagai petanda datangnya waktu shalat, sehingga dibunyikan setiap waktu shalat datang, lalu diiringi azan di atas menara, sehingga suara tetap terdengar tetapi tidak menimbulkan kebisingan. Penggunaan speaker memang tidak lagi bisa dihindarkan, maka pengaturan yang lebih diperlukan, sehingga speaker yang ada digunakan lebih proporsional, lebih elok, tidak memberikan kesan kebisingan atau kenorakan. Sebenarnya bisa diatur lebih elegan sehingga membawa Islam lebih sejuk dan lebih elegan. Sekaligus mencerminkan Islam sebagai agama yang penuh damai dan kesejukan. (Abdul Mun’im DZ)


Terkait