Risalah Redaksi

Perkembangan Rasialisme dalam Keseharian Kita

Selasa, 15 November 2005 | 09:07 WIB

Pendidikan dan kesenian merupakan salah satu sarana pembentukan kebudayaan. Pendidikan sebagai sarana pembentukan dan pewarisan kebudayaan mengalami berbagai tantangan dewasa ini, karena pendidikan hanya melayani kepentingan industri. Demikian juga seni perfilman kita, di samping sepenuhnya telah menjadi sarana industri, sebagai bentuk sarana industri, maka ia mengabaikan baik dari segi estetik maupun segi-segi etik. Padahal inti kebudayaan adalah nilai etiknya yang dibungkus oleh cita rasa estetik.

Tetapi kenyataan yang kita saksikan dalam seni perfilman kita baik di layar lebar maupun sinetron, betapa pragmatisme industri telah mewarnai dunia seni. Seni tidak lagi memperhatikan isi, baik dari segi kualitas, maupun orisinalitas serta visi edukasinya sebagai sarana pembentukan dan penyebaran budaya. Seni sebagai sarana dagang, hanya menampilkan bentuk, sementara untuk mrnampilkan bentuk kalau tidak wajah yang cantik atau tampan, juga eksploitasi erotisme.

<>

Dua hal itu sangat tampak bahwa sinetron dan juga seni musik kita hanya menampilkan bintang film dan biduan cantik-tampan yang berwajah kebarat-baratan, sehinga kalau kita melihat sinetron pada umumnya seolah tidak terjadi di Indonesia, baik alur ceritanya, setting cerita maupun para aktornya, sama sekali tidak ada nuansa keindonesiaan, sebab ceritanya umum, nuansa keindonesiaan dilarang. Setting hanya hotel dan rumah mewah, bisa terjadi di Eropa, Amerika atau Jepang. Demikian wajah para aktor dan artisnya tidak mengenal tanah air, sebab mereka semua indo, wajah local harap disembunyikan.

Maka sekarang cerita yang serius yang berlatar belakang budaya apalagi berlatar belakang sejarah Indonesia hampir punah. Demikian juga para actor dan artis yang berwajaah asli pribumi, apa Melayu, Papua, Jawa, Sunda, Dayak dan lain sebagainya, kalau tidak dipoles secara bule atau minimal Indo tidak bisa menjadi artis film. Dengan banyaknya produser asing, yang pada umumnya tidak mengenal budaya Indonesia, dan tidak memiliki selera keindonesiaan, baik cerita maupun wajah, maka hal itu akan berkembang semakin marak di masa yang akan datang. Dengan demikian pengembangan budaya nasional, yang bisa memperkuat integritas nasional dan selanjutnya meningkatkan kreativitas bangsa ini akan hilang.

Tetapi anehnya kaum pluralis yang selama ini gemar menyuarakan pluralisme dan multi kulturalisme malah mendukung rasialisme, itu, sebagai sarana pengembangan multicultural. Sementara kaum pribumi yang menuntut hak sama justeru oleh kelompok pro democrat dianggap sebagai nasionalis sempit dan justeru dianggap rasialis, etno sentries dan sebagainya. Sementara pelaku rasialis yang sebenarnya dianggap sebagai pejuang kebudayaan, yang tidak boleh diusik sikap rasialisnya.

Hal itu bisa dimengerti negara yang dianggap demagog demokrasi seperti Amerika, Inggris dan Australia adalah negara yang sangat rasialis hingga saat ini, terutama terhadap kulit berwarna dari Amerika, Asia atau Afrika.

Memang selama ini masyaraakat Indonesia adalah masyarakat toleran dan pluralis, walaupun didiskriminasi oleh Belanda dan Barat selama berabad-abad. Tetapi belakanagan ini marak program pluralisme yang mengajarkan bangsa yang sudah plural ini. Ini tidak lain sebagai sebuah imperialisme kebudayaan, sebab pluralisme yang satu ini sebagai upaya Barat yang bule itu untuk masuk negeri ini, agar bisa diterima di negeri ini untuk melakukan program intervensi tanpa dicurigai apalagi didiskriminasi.

Sementara bangsa Barat ketika masuk sini dengan diam-diam melakukan diskriminasi, perusahaan yang mereka dirikan hanya boleh dimasuki kalangan Bule di jajaran direksinya. Demikian system penggajian juga sangat diskriminatif, mereka menggaji tinggi karyawan sesama bulenya, sementara kalangan pribumi dengan level yang sama hanya digaji kecil.

Sekali lagi penganjur pluralisme dan penggalang multikulturalisme diam melihat kenyataan itu, bahkan mendukungnya, tidak berani melakukan teguran. Jangankan pada karyawan lain yang didiskriminasi, mereka sendiri dalam kelompok itu juga menerima didiskriminasi dengan sepenuh hati, baik dalam pembuatan gagasan, pelaksanaan maupun penggajian. Sistem yang tidak adil itu diterima apa adanya, padahal mereka selalu meneriakkan keadilan dan kesamaan.

Maka di sini pluralisme dan kesetaraan itu harus diperjuangkan dan ditegakkan di semua level, agar masyarakat pribumi memiliki kedudukan dan derajat yang sama dengan bangsa manapun, termasuk sesama bangsa sendiri. Masyarakat harus dinilai dari segi integritas moral dan kualitas karyanya, buka warna kulitnya, bukan rupa dan keturunannya. Gerakan anti rasial sekaraang ini sebenarnyaa lebih merupakan gerakan rasialisme baru yang sedang mencari posisi, bukan anti rasial yang sebenarnya, sebab digeraakkan para rasialis militan, atasnama, kebuadyaan, keilmuan dan profesionalisme, yang semuanya hanya manipulasi.

Kesetaraan, keadilan hendaknya diperjuangkan di semua lini kehidupan, dalam dunia kesenian, dalam dunia pendidikan hingga ke lapangan kerja. De


Terkait