PERBINCANGAN salah seorang pengurus NU Wilayah Yogya dengan NU Online beberapa hari lalu mengenai perlunya mengubah cara pandang bangsa ini terhadap sektor pertanian, menarik untuk ditindaklanjuti. Bagaimana sebuah bangsa yang memiliki lahan subur, memiliki pengalaman pertanian ribuan tahun, dengan sistem irigasi yang sempurna, sehingga melahirkan berbagai peradaban besar. Tiba-tiba sektor utama itu dilihat secara sinis bahkan jijik. Betapa bangsa ini terutama para elite terpelajar mengabaikan dan membenci bangsanya sendiri, dengan alasan mereka bodoh dan terbelakang, karena berpikir agraris.
Kalau dulu para buruh tani dan nelayan mendapatkan posisi penting dalam proses revolusi dan pembangunan di Zaman Soekarno. Karena itu bangsa dan negara ini sangat dihormati bangsa lain, karena kemandiriannya, terutama mandiri secara ekonomi, kemudian mandiri secara politik dan akhirnya mandiri secara pemikiran. Sikap kekeluargaan, gotong royong yang penuh pengabdian, merupakan ciri bangsa ini saat itu, yang disebut sebagai sosialisme Indonesia., yang berwata religius.
<>Tetapi ketika terjadi revolusi politik 1965, presiden Soekarno dikudeta oleh sebuah konspirasi besar, maka cara pandang yang nasionalistik, sosialistik dan populis itu dirombak menjadi cara pandang yang individual, universal dan kapitalistik. Kudeta politik itu juga diikuti oleh kudeta akademik, di mana pandangan keilmuan yang bersifat sosialis, revolusioner diganti dengan teori modernisasi yang kapitalistik, diskriminatif dan ateistik. Dengan cara pandang akademik itu maka ilmuwan dan politisi memandang rendah pada desa, dan meremehkan kaum agraris atau petani serta menghina tradisi dan budaya sendiri.
Bagi kelompok ilmuwan modernis itu tidak ada kategori yang lebih hina ketimbang cara berpikir dan bersikap agraris. Mengingat kenyataan itu selama rezim orde baru ini para politisi dan ilmuwan mendirikan lembaga pendidikan dari dasar hingga perguruan tinggi hanya untuk menghilangkan tradisi berpikir agraris, yang dianggap menghambat kemajuan yang sedang diekseleresasi (dipercepat). Akibatnya, sektor pertanian diabaikan, diganti dengan sektor industri, yang seluruh modal, bahan mentah serta sarana pendukungnya adalah import, ini yang mereka sebut modern. Dengan cara pandang semacam itu maka kemandirian hilang, dan ketergantungan dimulai.
Hutang dijadikan tumpuan ekonomi paling besar. Setiap kekurangan tidak ditempuh dengan menciptakan produktivitas baru, melainkan dengan cara menghutang. Hutang diperbesar untuk mempercepat modernisasi. Sementara hasil hutang banyak yang dikorupsi, maka walaupun banyak hutang kemajuan tidak kunjung dicapai. Sektor industri tidak pernah berkembang, sehingga impor barang industri makin besar, yang merusak neraca ekonomi nasional.
Sebaliknya sektor pertanian walaupun dibenci dan didiskriminasi, tetapi tetap mampu menyangga struktur ekonomi nasional, terutama dalam penyediaan pangan. Walaupun tidak mampu bersaing dengan luar negeri, karena tidak ada kebijakan yang mengawal. Akibatnya pembangunan kita secara keseluruhan mengalami disorientasi. Kreativitas hilang, akibatnya semua perencanaan tidak dibuat sendiri sesuai dengan kebutuhan, melainkan dibuatkan oleh negara pemberi hutang.
Ternyata cara pandang akademik dan sikap politik para elite yang menghina bangsa sendiri itu sangat kontraproduktif, yang mengakibatkan bangsa ini tidak memiliki akar kultural dalam melakukan pebangunan politik, dan tidak memiliki akar tradisi dalam pengembangan keilmuan. Akibatnya bangsa ini tidak tumbuh menjadi bangsa bebal dan tergantung. Walaupun berbagai langkah dijalankan tetapi tidak pernah maju bahkan makin dihina oleh bangsa lain. Bangsa-bangsa maju ternyata malah dengan gigih membangun sektor pertanian mereka dan menghormati petani termasuk cara berpikirnya yang agraris. Yang berarti kreativitas, kerja keras dan kemandirian.
Mengingat cara pandang akademik yang bias kapitalis yang merusak martabat bangsa ini, sebagaimana diupayakan sejak awal Orde Baru, maka perlua ada revolusi akademik baru agar cara akademik kita tidak anti petani, anti kreativitas dan anti nasionalisme dan anti kemandirian. Menjadi pandangan akademik yang berorientasi kerakyatan, pertanian, kebangsaan dan kemandirian. Hanya dengan cara itu kemajuan bangsa ini bisa kembali dibenahi. Kalaupaun ada revolusi politik, tetapi tanpa disertai revolusi ilmiah (scientific revolution) maka negeri ini akan tetapi kacau, sebab kapitalisme dan msemangat menjajah bangsa sendiri masih bercokol dalam otak para terpelajar, karena itu revolusi cara berpikir atau revolusi paradigma ilmiah merupakan langkah penting untuk menata dan memajukan bangsa ini.
Tidak mungkin cara pandang kapitalis, yang dikriminatif dan ateistik sebagaimana diajarkan teori modernisasi yang menjadi paradigma ilmiah para sosiolog, para antropolog, para psikolog dan ilmuwan politik itu digunakan untuk memperbaiki masyarakat ini. Cara pandang akademik sesuai dengan perspektif teori modernisasi, memandang bangsa ini sebagai bangsa bodoh, bangsa kuli. Untuk maju harus membebek pada bangsa barat tempat teori