Sebuah pemberian bisa berarti penghormatan, tetapi bisa sekaligus sebagai jebakan bahkan penghinaan. Karena itu ada tipe orang yang tidak sembarangan mau menerima penghargaan, baik dalam bentuk pangkat, jabatan atau harta kekayaan. Dengan adanya sikap semacam itu maka penerimaan Bakri Award dua tokoh aktivis Indonesia yakni budayawan WS Rendra dan sosiolog Arief Budiman memicu kontroversi. Penghargaan itu sudah lama, tetapi terus diperbincangkan sejalan dengan semakin besarnya semburan Lumpur di Sidoarjo dan semakin besarnya pencabutan subsidi negara pada rakyat.
Kontroversi itu muncul justeru dari mereka berdua sendiri ketika menyampaikan pidato penerimaan. Rendra Mislanya mengkritik Bakri Brothers sebagai perusahaan yang bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan yang menghancurkan kecamatan dan berapa desa. Sementara Arief Budiman juga mengkritik para pemberi penghargaan itu dulunya adalah para muridnya yang berhaluan kiri, tetapi saat ini menjadi kelompok liberal kapitalis yang bergerombol di Freedom Institute itu.
<>Sementara para aktivis lain bukannya sibuk memperdebatkan Freedom Institute, serta mitra dekatnya Teater Utan Kayu dan Yayasan Aksara yang merupakan kelanjutan ideologi Manikebu. Tetapi orang masih melihat Freedom sebagai lembaga pendukung kapitalisme, pasar bebas, apalagi mereka belum lupa lembaga itu secara mencolok mendukung kenaikan BBM dengan menggunakan data palsu, dan membohongi pemerintah dan publik bahwa pencabutan subsidi akan membawa kesejahteraan rakyat, tetapi malah menyengsarakan rakyat.
Diskusi di kalangan aktivis justru menyayangkan Rendra dan Arief mestinya tidak perlu mengkrirtik secara verbal seperti itu, tetapi cukup menolak pemberiaan penghargaan itu. Toh penghargaan itu tidak menambah gengsi sama sekali, dan dari segi finansial juga tidak seberapa besar. Bahkan dianggap sebagai pengjinaaan yang harus ditolak oleh kedua tokoh kritis tersebut. Sikap tersebut membuat kalangan aktivis kurang respek pada mereka berdua, yang menganggap langkah itu suatu tindakan kontroversi.
Hal itu terjadi karena kalangan aktivis mungkin lupa terhadap perjalanan sejarah mereka berdua, bahkan para penerima bakrie Award yang lain. Simaklah mereka itu Gunawan Muhammad, Sapardi Jokodarmono, mereka berdua adalah panandatangan Manikebu. Lalu sosiolog Ignas Kleden juga seorang simpatisan Manikebu. Demikian juga Rendra dan Arief Budiman adalah dua orang angkatan 66 penandatangan Manikebu. Jadi antara mereka berdua dengan lembaga yang memberi penghargaan itu tidak ada perbedaan prinsip hanya sedikit beda kepentingan.
Manikebu adalah kelompok budayawan, ilmuwan, aktivis dan yang anti terhadap Manifesto Politik Bung Karno. Mereka menolak seni budaya sebagai sarana revolusi, seni hanya untuk seni, seni untuk perjuangan dianggap bukan kesenian, tetapi hanya pamflet. Dan mereka juga menolak nasionalisme dan segala ekspesi kebudayaan local dengan mengetengahkan ajaran humanisme universil, yang tidak lain adalah paham pemikiran bebas dan liberal. Sebagai pendukung Manipol, maka NU dengan Lesbuminya menolak gagasan humanisme universil, karena tidak sejalan dengan dinamika perjuanagan rakyat dan bangsa.
Kelompok liberal yang pro pasar bebas dan anti rakyat itu kembali dikenang orang karena pikirannya yang anti subsidi, maka setiap pengurangan subsidi rakyat akan menjadi miskin, sementara para pendukung kapitalisme dan imperialisme global itu akan semakin diuntungkan. Dukungan mereka terhadap pasar bebas dan privatisasi BUMN, yang membuat negara semakin jompo dan semakin banyak hutang itu berakibat semakin jauh membawa rakyat pada kemiskinan, dan menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang tidak berkepribadian dan tidak lagi memiliki harga diri.
Dalam perdebatan politik maupun kebudayaan mereka itu selalu mengatakan bahwa tidak zamannya berdebat ideologi sebab itu masa lalu dan sudah selesai. Tidak benar ideologi selesai karena Manikebu telah mendominasi ideologi kesenian. Saat ini mereka sedang mengukuhkan ideologi itu di berbagai lembaga. Seni anti realitas, anti misi dan hanya bertumpu pada estetika adalah ideologi mereka, dan ini telah menyebar ke lembaga ilmu pengetahuan yang anti nilai, tanpa komitmen hanya sebagai pengamat bebas tanpa keberpihakan pada rakyat dan bangsa.
Dengan demikian yang perlu dilihat adalah ideologi para pendukung lembaga yang memberikan penghargaan itu, serta orang-orang yang terpilih sebagai pemenang penghargaan dan orang yang bersedia menerima penghargaan itu. Mereka memiliki kesamaan dan kesearahan orientasi, kalau mereka tidak tahu, tentu merupakan keteledoran dan sikap masa bodoh yang tak terkira. Maka yang perlu dilihat apa lembaganya dan siapa orangnya jangan terkecoh dengan omongannya. Karena ideologi seringkali ditutupi dan tidak jarang dimanipulasi, tetapi pikiran, sikap dan tindakan yang dipancarkan ideologi itu dengan sangat mudah bisa diidentifikasi. (Abdul Mun’im DZ)