Kekerasan dan radikalisme kini menjadi masalah utama di kawasan Timur Tengah. Hal itu menjadi penyebab tercorengnya nama Islam, meskipun sebenarnya masalah tersebut berakar pada persoalan politik, perebutan akses ekonomi, serta perebutan pengaruh di antara negara-negara dominan di kawasan tersebut.
<>
Atas dasar keinginan untuk mengatasi terorisme dan kekerasan yang merajalela ini, Saudi Arabia membentuk koalisi antiterorisme yang beranggotakan 34 negara, termasuk negara-negara Teluk, Mesir dan Turki, kecuali Iran. Indonesia diajak dalam koalisi tersebut, tetapi belum mengambil sikap karena masih menunggu kerangka kerja dari koalisi itu.
Aliansi yang bermarkas di Riyadh ini bertujuan "untuk mengkoordinasikan dan mendukung operasi militer guna memerangi terorisme.” Soal operasi militer inilah yang menjadi pertanyaan dari Kementerian Luar Negeri Indonesia.
Terorisme merupakan musuh bersama yang timbul karena berbagai macam motif. Upaya mencari perhatian dengan menyerang target sipil menjadikan para teroris musuh nomor satu di dunia. Karena itu, upaya memberantas terorisme mestinya mendapat dukungan bersama.
Salah satu faktor munculnya terorisme adalah ideologi agama yang ekstrem. Di sini muncul pertanyaan kepada Saudi Arabia, mengingat negara tersebut menganut paham wahabisme puritan. Dalam sejarahnya, kelompok tersebut seringkali terlibat dalam kekerasan akibat ingin memerangi kelompok yang tidak sepaham.
Di Indonesia, kelompok Wahabi dikenal sebagai kelompok fundamentalis. Dengan gampang kelompok ini menyatakan bid’ah, sesat, bahkan mengafirkan kelompok lain yang tidak sealiran dengan mereka. Dengan vonis sesat atau kafir, maka mereka merasa berhak membunuh orang lain. Kelompok Wahabi yang menyebar ke seluruh dunia dengan dukungan dana minyak menjadi salah satu faktor munculnya disharmoni di beberapa negara Muslim.
Dengan latar belakang ideologi seperti itu, maka menjadi pertanyaan tentang efektivitas koalisi antiterorisme pimpinan Saudi ini mengingat di negara tersebut menganut paham keagamaan yang intoleran terhadap keberadaan kelompok lain yang tidak sepaham dengan mereka. Apalagi pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan militer. Jangan-jangan, aliansi yang dibangun ini merupakan upaya perebutan pengaruh dengan Iran di kawasan Timur Tengah. Jika pendekatan militer yang dilakukan, kekerasan berkepanjanganlah yang akan terus berlangsung karena masing-masing pihak memiliki pendukung dan sumber daya untuk membeli senjata. Peradaban Islam dan rakyat sipillah yang menjadi korban.
Solusi militer terhadap kelompok teroris seperti ISIS penting dilakukan untuk menjaga keamanan publik, tetapi jika keyakinan mendasar bahwa hanya ajaran mereka sendiri yang benar dan kelompok lain boleh dibunuh, maka kekerasan atas nama agama masih akan terus berlangsung. Membangun pendekatan dialog dan mencari titik temu antara berbagai aliran dan kelompok Islam akan membuat negara-negara Muslim menjadi kawasan yang damai, bukan dengan saling pamer senjata. Muslim di Timur Tengah bisa mencontoh bagaimana Muslim di Indonesia bisa hidup damai di tengah berbagai perbedaan. (Mukafi Niam)