Risalah Redaksi

Selamat Jalan Kiai Ma’ruf, Selamat Datang Kiai Miftah

Ahad, 30 September 2018 | 04:30 WIB

Suasana haru menyelimuti ruang pertemuan lantai 8 gedung PBNU pada Sabtu 22 September 2018. Kiai Ma’ruf Amin menyalami para pengurus Nahdlatul Ulama setelah ia membacakan surat pengunduran dirinya sebagai rais aam Nahdlatul Ulama. Beberapa pengurus menitikkan air mata. Guratan-guratan sedih dan muka sembab tampak terlihat pada wajah peserta rapat pleno PBNU tersebut. Perpisahan ini untuk memberi kesempatan kepadanya guna melaksanakan tugas lain yang kini sedang diperjuangkannya sebagai calon wakil presiden, tetapi aturan organisasi tidak mengizinkannya berada dalam posisi rais aam.

Setelah pengunduran diri Kiai Ma’ruf, maka diputuskan KH Miftahul Akhyar yang sebelumnya wakil rais aam, bertindak sebagai pelaksana rais aam Nahdlatul Ulama. Sebelumnya, ia merupakan rais syuriyah di Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, daerah dengan basis NU paling kuat di Indonesia. Kiai Miftah langsung memimpin rapat pleno, yang membicarakan perkembangan organisasi, rencana, dan program kegiatan.  

Pengunduran diri tersebut merupakan amanat dari aturan organisasi NU. Berdasarkan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) Bab XVI Rangkap Jabatan pasal 51 ayat 4 yang berbunyi “Rais aam, wakil rais aam, ketua umum, dan wakil ketua umum Pengurus Besar; Rais dan ketua Pengurus Wilayah; Rais dan ketua Pengurus Cabang tidak diperkenankan mencalonkan diri atau dicalonkan dalam pemilihan jabatan politik”. 

Pada ayat 5 (lima), dijelaskan jabatan politik yang dimaksud adalah presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, wakil walikota, DPR RI, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Ketentuan ayat 6 (enam) dan 7 (tujuh) adalah apabila mereka mencalonkan diri atau dicalonkan, maka yang bersangkutan harus mengundurkan diri atau diberhentikan.
 
Pengunduran Kiai Ma’ruf Amin dapat menjadi teladan baik. NU secara organisasi tidak boleh dilibatkan dalam pertarungan politik pemilihan presiden atau kontestasi politik praktis lainnya. Aturan ini penting untuk menata organisasi dan menjadi rambu-rambu bagi jalannya organisasi. Selanjutnya teladan yang diberikan oleh para pemimpin di tingkat pusat akan menjadi panduan jika ada pengurus pada berbagai level organisasi yang terlibat dalam kontestasi politik. 

Sejarah panjang dalam menghadapi berbagai situasi politik memberi pelajaran berharga bagaimana NU harus membuat aturan dalam menghadapi berbagai persoalan politik. Sejak era Reformasi, para tokoh NU terlibat cukup intens dalam kontestasi jabatan politik. KH Abdurrahman Wahid dicalonkan dan terpilih sebagai presiden ke-4 RI pada pemilu 1999. KH Hasyim Muzadi dan KH Salahuddin Wahid pada pemilu 2004 juga dicalonkan sebagai calon wakil presiden. Kini KH Ma’ruf Amin juga mendapatkan kepercayaan sebagai calon wakil presiden. Juga sangat besar kemungkinannya di masa mendatang para tokoh NU dicalonkan dan terpilih sebagai pemimpin nasional. Belum lagi para tokoh NU di berbagai daerah yang dicalonkan menjadi pemimpin di tingkatannya masing-masing.

NU dengan jumlah pengikut yang sangat besar memiliki magnet politik yang pernah kuat. Beragam model organisasi pernah dicoba untuk menjalankan visi dan misinya. Didirikan sebagai organisasi keagamaan pada 1926, NU menjadi partai politik pada 1953. Pemilu pertama di Indonesia tahun 1955 membuktikan kekuatan massa NU dengan meraih posisi ketiga besar. Perubahan politik dari Orde Lama ke Orde Baru memaksa partai-partai berbasis Islam berfusi menjadi PPP. 

Perjuangan politik merupakan salah satu bentuk yang pernah dicoba dilakukan NU. Namun, ada kritik internal bahwa saat terlalu asyik mengurusi soal-soal politik, perhatian terhadap masalah kemasyarakatan teralihkan. Pada muktamar 1979 sudah muncul ide untuk kembali ke khittah saat NU dilahirkan, yaitu khittah 1926 yang akhirnya diputuskan dalam muktamar NU pada 1984. 

Berakhirnya Orde Baru membuka peluang pendirian partai politik baru sehingga muncul ide dari sebagian tokoh NU untuk mengembalikan NU menjadi partai politik. Tetapi pilihannya adalah tetap menjadikan NU sebagai organisasi massa Islam sedangkan untuk menampung aspirasi politik warga NU, dibentuk partai politik baru. Hubungan formal antara pengurus NU dengan jabatan di partai politik diatur sedemikian rupa untuk menjaga NU tetap dalam posisinya sebagai organisasi massa Islam. Hal tersebut secara tegas diatur dalam Bab XVI Rangkap Jabatan ayat 1c Jabatan Pengurus Harian Nahdlatul Ulama tidak dapat dirangkap dengan; (c ) Jabatan pengurus harian partai politik; dan/atau; (d) Jabatan pengurus harian organisasi yang berafiliasi kepada partai politik. 

Sekalipun sudah ada partai politik, para tokoh NU masih dipercaya sebagai calon pemimpin di sejumlah pilkada. Ada sisi positifnya bahwa para tokoh NU dipercaya untuk memimpin, tetapi di sisi lain muncul persoalan ketika beberapa calon diidentifikasi sebagai representasi NU. Akhirnya sesama tokoh NU bersaing dan menimbulkan gesekan. Atau persaingan antara tokoh NU dengan partai politik yang berafiliasi dengan NU. Struktur NU bisa ikut terpengaruh karena perbedaan-perbedaan politik tersebut. Dan ketika calon dari NU kalah, maka hubungan NU dengan pemimpin daerah menjadi renggang.   
 
Kontestasi politik merupakan persaingan yang sangat ketat. Untuk bisa memenangkan hati para pemilih, dibutuhkan upaya yang luar biasa yang membutuhkan dana dan alokasi waktu. Mereka harus benar-benar fokus untuk meraih kemenangan. Jika harus berbagi perhatian untuk sekaligus mengurusi NU, ada kekhawatiran bahwa program atau kegiatan organisasi akan mengalami kendala. Untuk urusan organisasi, wewenang dan tanggung jawabnya sebaiknya diserahkan kepada mereka yang tidak sedang ikut dalam kontestasi politik. Ini merupakan solusi menang-menang bagi kedua belah pihak. 

Dengan pertimbangan ini, tokoh NU lainnya yang terjun ke ranah politik praktis saatnya mengikuti jejak Kiai Ma’ruf Amin untuk melepaskan posisinya di lingkungan NU demi menjaga independensi organisasi sekaligus memastikan bahwa organisasi tetap berjalan sebagaimana mestinya. Pengunduran diri yang dilakukan oleh Wakil Ketua PP IPNU Imam Fadhli yang kini mencalonkan diri sebagai anggota DPRD di Kabupaten Lamongan patut diapresiasi.

Warga NU, tentu akan memberikan dukungan kepada para tokohnya yang sedang berjuang untuk ikut mewarnai penyelenggaraan negara di Indonesia. Sekalipun tidak lagi menduduki posisi sebagai rais aam, warga NU tetap akan mendukung perjuangan yang dilakukan oleh Kiai Ma’ruf mengingat ia merupakan tokoh NU yang memiliki kapasitas yang mumpuni untuk membawa Indonesia menuju kondisi yang lebih baik, dalam bingkai Islam Ahlusunnah wal Jama’ah.  Upaya dukungan tersebut bisa dilakukan dengan wadah baru berupa organisasi atau lembaga yang secara khusus diniatkan untuk menyukseskan pasangan capres-cawapres.

Walaupun pemilihan presiden merupakan ranah politik praktis yang mana NU secara langsung tidak terlibat, tetapi NU memiliki kepentingan untuk memastikan bahwa pemimpin yang terpilih mendukung pengembangan Islam moderat yang diperjuangkan oleh NU. Perjuangan tersebut tidak mudah mengingat ada kekuatan besar lain dengan dukungan jaringan internasional yang menginginkan memberi warna Islam sebagaimana yang mereka inginkan. Namun, upaya tersebut harus dilakukan dengan cara-cara yang tak melanggar aturan organisasi. 

Tongkat eastefet telah diserahkan oleh Kiai Ma’ruf kepada Kiai Mifah. Ia akan menjadi nahkota NU melewati tahun politik yang bisa memunculkan ketidakpastian. Pengalaman yang dimilikinya memastikan bahwa ia mumpuni membawa kapal besar NU melewati beragam situasi. Didampingi para aktivis muda yang enerjik, yang akan melaksanakan amanah rais aam dan doa-doa para kiai yang wirai, dan dukungan dari para warga NU di seluruh Indonesia, insyaallah NU akan terus maju, memberdayakan umat, menjaga bangsa. (Achmad Mukafi Niam)


Terkait