Tradisi Meugang, Ekspresi Gembira Masyarakat Aceh Menyambut Ramadhan
Kamis, 7 Maret 2024 | 16:00 WIB
Ekspresi kegembiraan menjelang Ramadhan telah dipraktikkan oleh masyarakat Aceh melalui tradisi makmeugang atau meugang. Tradisi ini telah menjadi budaya. Bahkan masyarakat Aceh di luar negeri masih merawat tradisi ini.
Masyarakat Islam di seluruh dunia memiliki cara tersendiri dalam menyambut bulan Ramadhan. Hal ini dikarenakan Ramadhan menjadi begitu istimewa dan penuh berkah. Penyambutan bulan Ramadan dengan penuh kegembiraan adalah ekspresi ketakziman terhadap rahmat Allah di bulan tersebut.
Menyambut perintah Allah dengan kegembiraan merupakan anjuran syariat. Allah Swt berfirman dalam surat Yunus ayat 58:
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
Artinya, "Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan"."
Ibnu Athiyyah di dalam tafsirnya Al-Muharrar. Jld. 3/ H. 126) menyebutkan bahwa bentuk kegembiraan di sini adalah karena Islam dan Al-Quran. (Ibnu Athiyyah, Al-Muharrarul Wajiz fi Tafsiril Kitab Al-‘Aziz, jilid III, halaman 126).
Ekspresi kegembiraan menjelang Ramadhan telah dipraktikkan oleh masyarakat Aceh melalui tradisi makmeugang atau meugang. Tradisi ini telah menjadi budaya. Bahkan masyarakat Aceh di luar negeri masih merawat tradisi ini.
Dalam sejarahnya makmeugang atau meugang dimulai pada masa Kesultanan Aceh Darussalam, tepatnya pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). Melalui perintah Sultan Iskandar Muda untuk menyembelih hewan dalam jumlah banyak lalu dibagikan secara gratis kepada masyarakat. Hal ini juga dilakukan sebagai wujud syukur dan ungkapan terima kasih atas kemakmuran negeri Aceh.
Dalam tradisi tersebut, selama pemerintahan Sultan Iskandar Muda di masa keemasan Aceh, selain membagikan daging meugang kepada masyarakat kurang mampu, juga membagikan sembako dan kain.
Baca Juga
Nyadran dan Penguatan Nasionalisme
Meugang yang telah dimulai pada masa Iskandar Muda ini telah berlangsung sejak 400 tahun lalu. Sultan begitu besar perhatiannya kepada rakyat fakir miskin, ia bertindak dengan adil dan bijaksana (HM Zainuddin, Singa Aceh, Biografi Sri Sultan Iskadar Muda, [Medan, Pustaka Iskandar Muda], halaman 98).
Orang yang tidak mampu masa itu menjadi tanggung jawab sultan, dengan mengeluarkan satu qanun (hukum) yang mengatur tentang pelaksanaan meugang. Qanun yang dikeluarkan oleh sultan kala itu diberi nama ‘Meukuta Alam’. Pada Bab II pasal 47 qanun tersebut disebutkan:
كرنيا راج د هاري مد مڬڠ
ڨصل باب تله ترمكتوب دالم قانون مكوتا عالم الأشى دار السلام بهوا جيك داتڠ سمڨي تاهن همڨير هاري مدمڬڠ يائتو مدمڬڠ ڨواس دان مدمڬڠ هاري راي فطرة دان مدمڬڠ هاري راي حج مك سبلومڽ مدمڬڠ كير-كير ساتو بولن لاڬي جاؤه مدمڬڠ مك هندكله ڬچهيك-ڬچهيك دان واكل دان إمام مناسه سرت توه أمڨت
Artinya, "Kurnia Raja di Hari Madmeugang
Pasal bab. Telah ter-maktub dalam Qãnũn Meukuta 'Ãlam al-Ãsyĩ Darussalam, bahwa jika da-tang sampai tahun hampir hari Madmeugang , yaitu Madmeugang Puasa dan Madmeugang hari raya Fitrah dan Madmeugang hari raya Haji, maka sebelumnya Madmeugang kira-kira satu bulan lagi jauh Madmeugang, maka hendaklah Geuchik-Geuchik dan wakil dan Imam Meunasah serta Tuha Empat."
بهڬيكنله داڬڠ كڨدا سكالين مريك إيت يڠ ترسبوت يائتو ڨدا تيٰڨ-تيٰڨ ساتو أورڠ مك يائتو سامس داڬڠ دان داڨت واڠ ليم مس دان داڨت كائن أنم هست مك ڨدا سكاليٰن يڠ ترسبوت سموا دسره كڨدا ڬچهيكڽ ماسڠ-ماسڠ ڬمڨوڠ دائرهڽ سبب كارن سكاليٰن مريك إيت يڠ ترسبوت هيدف مضرة لاڬي تياد ممڨو ممبليكنڽ مك إيتوله سبب ڨمرنته أچيه ممبري تلوڠنڽ دڠن ڨرنته سلطان أتو رئيس جمهورية قانون مكوتا عالم
Artinya, "Bagikanlah daging kepada sekalian mereka itu yang tersebut. Yaitu pada tiap-tiap satu orang maka yaitu seemas daging dan dapat uang lima mas dan dapat kain enam hasta. Maka pada sekalian yang tersebut semua diserah kepada Geuchik-nya masing-masing gampông daerahnya. Sebab karena sekalian mereka itu yang tersebut hidup melarat lagi tiada mampu membelikannya, maka itulah sebab pemerintah Aceh memberi tolongannya dengan perintah Sultan atau Raĩs Jumhũriyyah." (Alih Aksara, Mohd Kalam Daud, TA Sakti, Qanun Meukuta Alam, dalam Syarah Tadhkirah Tabaqat Tgk di Mulek dan Komentarnya, [Banda Aceh, Syiah Kuala Uiniversity Press: 2010]).
Dari qanun tersebut didapati bahwa istilah madmeugang dalam pelafalannya berubah menjadi makmeugang atau meugang tidak hanya dalam menyambut Ramadan saja, akan tetapi juga menyambut dua hari raya. Maka pemerintah atau sultan memerintahkan para kepala desa, imam serta majlis syura untuk melaksanakan kebijakan meugang dengan membagikan daging hewan sembelihan kepada fakir miskin, duafa dan orang berkebutuhan khusus.
Hari ini tradisi meugang terus dirawat sebagai kekayaan khazanah umat Islam di Aceh. Meskipun praktik pada masa Sultan Iskandar Muda dengan masa sekarang sudah berbeda. Dimana hari ini setiap kepala keluarga di Aceh berusaha menyediakan daging meugang kepada keluarganya. Sebagai alamat bahwa anggota keluarga dan masyarakat mesti bergembira dan bersyukur dengan datangnya bulan yang penuh cucuran rahmat Allah Swt.
Ustadz Azmi Abubakar, Penyuluh Agama Islam Asal Aceh, Penulis Buku Ya Jamalu Ya Rasulullah