Keimanan dan ketakwaan seorang muslim kepada Allah menjadi modal utama dalam menjalani kehidupan di dunia ini, baik dalam hubungan sosial maupun hubungan dengan Tuhan. Untuk itu, keimanan dan ketakwaan ini sering diingatkan di sejumlah momentum kegiatan keagamaan, di antaranya pada pelaksanaan shalat Jumat, tepatnya pada sesi khutbah.
Dalam konteks khutbah Jumat, wasiat takwa memiliki kedudukan yang sangat penting. Khutbah Jumat merupakan kesempatan bagi khatib untuk mengingatkan jamaah tentang pentingnya takwa sebagai fondasi hidup seorang Muslim. Imam Al-Juwaini mengatakan bahwa tujuan yang paling tampak dari khutbah adalah wasiat atau memberikan nasehat takwa (Al-Juwaini, Nihayâtul Mathlab, [Jaddah, Darul Minhaj: 2007], juz II, halaman. 543).
Wasiat Takwa menurut Syafi‘iyah dan Hanabilah
Mazhab Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa posisi wasiat takwa dalam khutbah adalah rukun, baik pada khutbah pertama maupun khutbah kedua. Imam Jalaluddin Al-Mahalli, seorang ulama Syafiiyah, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Hasyiah Al-Qalyubi wa ‘Umairah mengatakan, wasiat termasuk rukun khutbah. Dalil yang menjadi dasar ketentuan ini adalah hadits Nabi yang diriwayatkan Imam Muslim melalui jalur Jabir:
وَالْوَصِيَّةُ بِالتَّقْوَى لِلِاتِّبَاعِ رَوَى مُسْلِمٌ عَنْ جَابِرٍ: «أَنَّهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - كَانَ يُوَاظِبُ عَلَى الْوَصِيَّةِ بِالتَّقْوَى فِي خُطْبَتِهِ
Artinya: “Rukun ketiga yaitu wasiat untuk bertakwa mengikuti sunnah. Muslim meriwayatkan dari Jabir bahwa “Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- senantiasa mengingatkan untuk bertakwa dalam khutbahnya.” (Al-Qalyubi, Hasyiah Qalyubi wa 'Umairah, [Beirut, Darul Fikr, 1995], juz I, hal. 321).
Ibnu Qudamah, seorang ulama dari kalangan Hanabilah, menyebutkan dalam kitab Al-Kafi bahwa khutbah Jumat tanpa menyampaikan wasiat takwa tidak dianggap mencukupi.
الثالث: الموعظة؛ لأن النبي - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - كان يعظ، وهو القصد من الخطبة فلا يجوز الإخلال بها
Artinya: “Rukun ketiga yaitu mau‘idhah (wasiat), karena Nabi Muhammad senantiasa memberi nasehat dan nasehat merupakan tujuan dari khutbah sehingga (khutbah) tidak boleh kosong dari nasehat.” (Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Al-Kafi fi Fiqhil Imam Ahmad, [Bairut, Darul Kutubil Ilmiyyah: 1994 M], juz I, halaman 328].
Lebih lanjut, menurut mazhab Syafi’iyah dan Hanabilah, pembacaan wasiat tidak hanya berlaku pada khutbah pertama, melainkan juga wajib disampaikan dalam khutbah yang kedua. Pasalnya, wasiat termasuk salah satu rukun pada khutbah pertama dan kedua. Dalam kitab Hasyiah Al-Qalyubi dijelaskan:
وَهَذِهِ الثَّلَاثَةُ أَرْكَانٌ فِي الْخُطْبَتَيْنِ أَيْ فِي كُلٍّ مِنْهُمَا
Artinya: “Adapun tiga rukun (hamdalah, shalawat, dan wasiat) merupakan rukun-rukun yang ada pada dua khutbah, artinya setiap masing-masing dari dua khutbah harus ada tiga rukun”. (Al-Qalyubi, Hasyiah Qalyubi wa 'Umairah, [Bairut, Darul Fikr:1995], juz I, halaman 321).
Selaras dengan keterangan di atas, Ibnu Qa’id dari kalangan Hanabilah dalam kitab Hidayah al-Raghib menjelaskan sebagaimana berikut:
ولا بدَّ في كلِّ واحدةٍ مِنْ الخُطبتَين مِنْ هذه الأركانِ
Artinya: “Mau tidak mau setiap khutbah dari dua khutbah harus ada rukun-rukun ini (hamdalah, shalawat, dan wasiat).” (Ibn Qa'id, Hidayat al-Raghib li Syarh 'Umdat al-Talib li Nail al-Ma'arib, [Bairut, Muassasah Ar-Risalah: 2007], Juz II, halaman 19).
Konsekuensinya, menurut mazhab Syafi’iyah dan Hanabilah, jika khatib tidak berwasiat takwa dalam khutbah Jumat, baik pada khutbah pertama atau kedua, maka hukum khutbahnya menjadi batal sebab wasiat takwa merupakan rukun khutbah. Batalnya khutbah ini akan berefek pada shalat Jumat, karena syarat dari keabsahan shalat Jumat adalah terselenggaranya dua khutbah yang sah.
Wasiat Takwa menurut Hanafiyah dan Malikiyah
Berbeda dengan dua mazhab sebelumnya, mazhab Malikiyah dan Hanafiyah lebih longgar dalam memandang khutbah Jumat. Menurut dua mazhab ini, wasiat takwa dalam khutbah itu hukumnya sunnah, bukan rukun. Dengan demikian, khatib yang tidak berwasiat pada saat khutbah, maka khutbahnya tetap sah dan shalat Jumatnya juga sah.
Hasan bin Ammar, seorang ulama dari kalangan Hanafiyah memberikan penjelasan bahwa hukum wasiat takwa adalah sunnah, bukan rukun yang wajib disampaikan dalam khutbah Jumat.
"وَيُسَنُّ بَدَاءَتُهُ بِحَمْدِ اللهِ" بَعْدَ التَّعَوُّذِ فِي نَفْسِهِ سِرًّا "وَالثَّنَاءُ عَلَيْهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ" سُبْحَانَهُ "وَالشَّهَادَتَانِ وَالصَّلَاةُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْعِظَةُ" بِالزَّجْرِ عَنِ الْمَعَاصِي وَالتَّخْوِيفِ وَالتَّحْذِيرِ مِمَّا يُوجِبُ مَقْتَ اللهِ تَعَالَى وَعِقَابَهُ سُبْحَانَهُ "وَالتَّذْكِيرُ" بِمَا بِهِ النَّجَاةُ.
Artinya: “Disunnahkan untuk memulai dengan memuji Allah” setelah membaca ta’awwudz dalam hati secara pelan, “dan memuji-Nya sesuai dengan kemuliaan-Nya” Mahasuci Dia, “mengucapkan dua syahadat, bershalawat kepada Nabi Muhammad dan memberikan wasiat” berupa peringatan untuk menjauhi maksiat, menakuti dan memperingatkan dari hal-hal yang mendatangkan murka dan siksa Allah SWT, “serta mengingatkan” dengan hal-hal yang menjadi penyebab keselamatan.”(Hasan bin Ammar bin Ali As-Syarnablali Al-Hanafi, Maraqi al-Falah Syarh Matn Nur al-Idhah, [Bairut - Al-Maktabah al-'Asriyyah: 2005), juz I halaman 196).
وَعَاشِرُهَا الْعِظَةُ وَالتَّذْكِيرُ
Artinya: “Adapun kesunnahan khutbah yang kesepuluh adalah wasiat dan peringatan...” (Nizamuddin Al-Barnapuri dkk, Al-Fatawa al-Alamkiriyyah [Mesir, Al-Matba'ah al-Kubra al-Amiriyyah: 1892], Juz I, halaman 147).
Argumentasi ulama yang tidak mewajibkan wasiat dalam khutbah menyatakan bahwa yang terpenting dalam khutbah Jumat adalah keberadaan khutbah itu sendiri sebagai bentuk ucapan atau penyampaian umum. Artinya, khutbah mencakup pembicaraan atau penjelasan apa pun, meskipun tanpa nasihat khusus. Oleh karena itu, nasihat atau wasiat tidak dianggap sebagai rukun wajib dalam khutbah..
Jika melihat konteks umat Islam Indonesia yang umumnya bermazhab Syafi’iyah, maka wasiat dalam khutbah Jumat termasuk rukun. Dengan demikian, jika khatib tidak menyampaikan wasiat takwa dalam khutbah Jum'at maka khutbahnya batal, jika khutbahnya batal maka shalat Jumatnya ikut batal.
Jika khatib lupa membaca wasiat dalam khutbah lalu teringat saat masih di mimbar atau segera setelah turun, sebaiknya langsung membaca wasiat tersebut. Hal ini diperbolehkan karena tidak ada ketentuan tertib dalam rukun-rukun khutbah, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Nawawi yang mengutip pendapat Imam al-Mawardi. Wallahu a‘lam.
Moh Soleh Shofier, Pegiat Literasi Pesantren dan Alumnus Ma’had Aly Situbondo