Daerah BANJIR SUMATRA

Ketua PWNU Aceh Saksikan Dampak Banjir Bandang di Dayah Ummul Ayman: Tumpukan Kayu dan Lumpur Menggunung

NU Online  ·  Jumat, 19 Desember 2025 | 21:00 WIB

Ketua PWNU Aceh Saksikan Dampak Banjir Bandang di Dayah Ummul Ayman: Tumpukan Kayu dan Lumpur Menggunung

Ketua PWNU Aceh, Tgk H. Faisal Ali atau Abu Sibreh, saat meninjau Dayah Ummul Ayman 3 di Kecamatan Meurah Dua, Kabupaten Pidie Jaya. (Foto: NU Online/Helmi Abu Bakar)

Pidie Jaya, NU Online

Tumpukan kayu dan lumpur menggunung menyambut langkah Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Aceh, Tgk H. Faisal Ali atau Abu Sibreh, saat meninjau Dayah Ummul Ayman 3 di Kecamatan Meurah Dua, Kabupaten Pidie Jaya. Pemandangan tersebut menjadi gambaran nyata dahsyatnya banjir bandang yang melanda wilayah Aceh, khususnya Pidie Jaya.


Kayu-kayu besar dengan diameter melebihi pelukan dua orang dewasa tampak bertumpuk bercampur lumpur yang telah mengeras. Tingginya mencapai atap bangunan, bahkan di beberapa titik menjulang seperti dinding alam yang runtuh dari kawasan hulu. Abu Sibreh beberapa kali berhenti dan menatap lama kondisi tersebut.


“Secara akal, kayu sebesar ini tidak mungkin bergerak sejauh ini. Namun banjir bandang membawanya. Ini kekuatan yang luar biasa,” ujarnya lirih.


Di dalam kompleks dayah, ruang-ruang belajar santri porak-poranda. Balai pengajian tertimbun lumpur, kitab-kitab rusak, dan lantai tertutup material keras yang harus dikikis secara manual. Lumpur yang semula cair kini mengeras menyerupai semen, menandakan air datang membawa material berat dari pegunungan.


Abu Sibreh menegaskan, kerusakan di Dayah Ummul Ayman tidak hanya menyangkut bangunan fisik, tetapi juga melumpuhkan denyut pendidikan keagamaan. Para santri kehilangan ruang belajar, sementara para pengajar dihadapkan pada kondisi yang sulit ditangani tanpa dukungan alat berat.


“Dayah ini pusat ilmu dan akhlak. Ketika ia porak-poranda, itu artinya umat sedang kehilangan salah satu tiangnya,” tegasnya.


Menurut Abu Sibreh, banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh telah melampaui kewajaran bencana musiman. Kerusakan masif, korban jiwa, serta lumpuhnya kehidupan sosial menunjukkan adanya persoalan ekologis serius yang selama ini diabaikan.


Saat menyusuri kawasan terdampak di Pidie Jaya, ia juga menyaksikan rumah-rumah warga tertimbun lumpur hingga mendekati atap. Banyak bangunan nyaris tidak dapat ditempati. Lumpur yang telah mengering membuat pintu dan jendela sulit dibuka, sementara perabotan rumah tangga terkubur tanpa sisa.


“Ini pekerjaan sangat berat. Lumpur sudah kering dan tidak bisa dibersihkan hanya dengan air. Warga harus mengikisnya sendiri,” ujarnya.


Ia menilai kondisi tersebut menunjukkan ketimpangan antara skala bencana dan kehadiran negara di lapangan. Di saat masyarakat berjibaku membersihkan lumpur, dukungan alat berat dan penanganan teknis belum merata.


Abu Sibreh juga mengungkapkan rencana PWNU Aceh untuk meninjau wilayah Aceh Tamiang terpaksa dibatalkan karena jembatan di Bireuen belum dapat dilalui. Hal itu menegaskan bahwa dampak bencana telah memutus sejumlah akses vital antarwilayah.


Lebih jauh, PWNU Aceh menilai bencana ini tidak bisa dilepaskan dari kerusakan lingkungan akibat ulah manusia. Pembukaan hutan tanpa kendali, perubahan tata guna lahan, serta eksploitasi sumber daya alam yang mengabaikan keseimbangan dinilai mempercepat dan memperparah dampak bencana.


“Ini bukan semata kehendak alam. Ada keserakahan manusia di dalamnya. Alam hanya mengembalikan apa yang selama ini kita perlakukan kepadanya,” tegasnya.


Ia mengingatkan, jika penanganan pascabencana hanya berhenti pada bantuan darurat dan perbaikan fisik tanpa evaluasi ekologis menyeluruh, maka peristiwa serupa berpotensi terus berulang.


PWNU Aceh juga menyoroti dampak jangka panjang terhadap pendidikan keagamaan. Banyak dayah dan balai pengajian mengalami kerusakan parah sehingga santri kehilangan ruang belajar. Bagi NU, kondisi ini menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan pembinaan umat.


“Dayah bukan sekadar bangunan, melainkan pusat pembentukan karakter. Jika pemulihannya diabaikan, kita sedang mempertaruhkan masa depan generasi,” ujarnya.


PWNU Aceh mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk menangani bencana ini secara luar biasa dan sebanding dengan dampak yang ditimbulkan, termasuk keberanian menata ulang kebijakan lingkungan.


“Jangan biasakan banjir bandang dan longsor besar. Jika bencana seperti ini dianggap normal, maka yang tidak normal adalah nurani kita,” pungkas Abu Sibreh.


Ia juga mengajak seluruh pihak menjadikan musibah tersebut sebagai bahan renungan dan pelajaran bersama, agar ke depan hubungan manusia dengan alam dapat dijaga secara lebih adil dan berkelanjutan.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang