Refleksi dan Taushiyah Kebangsaan Nahdlatul Ulama Memasuki Tahun 2020
Jumat, 3 Januari 2020 | 16:30 WIB
Nahdlatul Ulama merasa perlu mengingatkan kembali seluruh elemen bangsa tentang khittah NKRI. NKRI didirikan oleh para founding fathers dengan semangat kebersamaan. Pancasila adalah konsensus yang menengahi seluruh perbedaan, tenda besar yang menaungi seluruh komponen bangsa tanpa membedakan asal-usul suku, agama, ras, dan antargolongan. Proses integrasi dipupuk untuk mengatasi segregasi horizontal dan vertikal dalam rangka menghapuskan diskriminasi sosial dan ekonomi. Seluruh warga negara sama kedudukannya di muka hukum. Tidak ada mayoritas dan minoritas. Tidak ada ras dan etnis tertentu yang lebih unggul dibanding yang lain. NKRI yang diikat oleh Pancasila dan UUD 1945 serta berdiri di atas prinsip Bhinneka Tunggal Ika merupakan prinsip-prinsip final yang harus dipertahankan sampai kapan pun.
Di tengah gelombang pasang kembali ke agama, para politisi hendaknya berhenti mengeksploitasi agama sebagai basis preferensi elektoral. Nahdlatul Ulama perlu mengingatkan tentang trilogi ukhuwwah sebagai fundamen membangun persaudaran yaitu persaudaran keislaman (ukhuwwah Islamiyah), persaudaraan kebangsaan (ukhuwwah wathaniyah), dan persaudaraan kemanusiaan (ukhuwwah basyariyah/insaniyah). Dia yang bukan saudaramu seagama adalah saudaramu sebangsa. Dia yang bukan saudaramu seagama dan sebangsa adalah saudaramu sesama anak manusia. Kebangkitan kembali ke agama hendaknya tidak melahirkan sektarianisme yang menimbulkan segregasi dan skisma sosial. Maraknya kampanye yang mengharamkan ucapan Selamat Natal, sebagai contoh, adalah wujud kegagalan mentransformasikan trilogi ukhuwwah itu. Semakin kuat kembali ke agama justru semakin cenderung ke arah eksklusivisme dan intoleransi. Seharusnya kembali ke agama adalah kembali ke ajaran welas asih, tepo seliro, lapang dada, adil, dan proporsional. Dalam konteks NKRI, beragama harus senafas dengan berbangsa. Kita bisa menjadi pemeluk agama yang taat sekaligus warga negara-bangsa yang baik. Radikalisme dan fundamentalisme yang mengeksploitasi agama sebagai basis segregasi harus ditolak dan dicegah melalui program deradikalisasi dan kontra-radikalisme yang tepat dan terarah.
Selain prinsip berbangsa dan bernegara yang tidak boleh berubah, Mahdlatul Ulama perlu mengingatkan sejumlah hal penting sebagai poin refleksi untuk memantapkan gerak dan laju bangsa Indonesia dalam mencapai tujuan-tujuan nasionalnya yaitu keadilan sosial, infrastruktur sosial, pemerataan ekonomi dan bahaya oligarki, serta tantangan intoleransi.
KEADILAN SOSIAL
Keadilan sosial adalah output (ghâyah) dari seluruh penyelenggaraan kehidupan publik. Tanpa bertumpu pada prinsip keadilan sosial, maka pembangunan—sehebat apa pun—hanya akan menjauh dan lepas dari jiwa Pancasila. Nahdlatul Ulama perlu mengingatkan kepada seluruh penyelenggara kehidupan publik bahwa keadilan sosial harus merupakan titik tolak dan goal dari seluruh rancang bangun pembangunan nasional. Dalam agama Islam, keadilan merupakan intisari dari ajaran Islam tentang kemasyarkatan. Keadilan merupakan nilai suci yang tidak pandang bulu. Islam tidak pernah mengajarkan bentuk baku sistem pemerintahan. Tetapi, Islam sangat menekankan dimensi keadilan dalam penyelenggaraan kehidupan sosial. Islam menyeru berbuat adil, bahkan terhadap mereka yang tidak kita sukai. Allah berfirman (QS. Al-Maidah/5: 8):
Tanpa berpijak pada keadilan sosial, pembangunan akan menghasilkan patologi sosial dalam bentuk kriminalitas, anarkisme, dan radikalisme.
INFRASTRUKTUR SOSIAL
Kecanggihan teknokrasi dalam pemerintahan tidak akan banyak guna tanpa dukungan infrastruktur sosial yaitu kohesi dan harmoni sosial. Fungsi ini telah dijalankan secara optimal oleh ormas-ormas keagamaan. Tugas pemerintah adalah mengakselerasi kohesi vertikal melalui pemerataan distribusi kesejahteraan dan pemerataan kontrol atas sumber-sumber daya ekonomi yang berkeadilan. Nahdlatul Ulama mendorong agar pemerintah fokus menjalankan program pemerataan dan memotong mata rantai ketimpangan.
PEMERATAAN EKONOMI DAN BAHAYA OLIGARKI
Bercokolnya oligarki membuat kue ekonomi tumbuh, tetapi tidak merata. Koefisien gini turun sedikit, begitu pun rasio gini penguasaan tanah. Secara nominal, kekayaan 50 ribuorang terkaya setara dengan gabungan kepemilikan 60 persen aset penduduk Indonesia atau 150 juta orang. Segelintir orang mendominasi kepemilikan atas jumlah simpanan uang di bank, saham perusahaan dan obligasi pemerintah, serta penguasaan tanah.
Sektor yang menyerap banyak tenaga kerja, yaitu pertanian, terseok-seok karena gagalnya land reform dan industrialisasi pertanian. Sawah-sawah menjadi tadah hujan karena miskinnya infrastruktur irigasi. Akibatnya produktivitas turun. Sawah-sawah akhirnya disulap jadi rumah-rumah. Pada gilirannya kebutuhan pangan diperoleh dari impor yang menguras devisa.
Nahdlatul Ulama perlu mengingatkan kepada Pemerintah untuk memotong mata rantai oligarki ini. Oligarki akan menimbulkan penyakit sosial berupa persepsi tentang ketidakadilan dan prasangka etnis yang dapat mengoyak integrasi nasional.
TOLERANSI
HARAPAN 2020
Semoga negeri kita tercinta, Indonesia dijaga dan dipelihara oleh Allah SWT dan ditetapkan sebagai baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr.
شكراودمتمفيالخيروالبركةوالنجاح
واللهالموفقإلىأقومالطريق
PENGURUS BESAR NAHDLATUL ULAMA
Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, MA.
Sekretaris Jenderal