Biografi singkat
George Sarton, seorang ahli kimia dan sejarawan Amerika kelahiran Belgia, mengibaratkan Al-Biruni sebagai Leonardo da Vinci-nya Islam karena penguasaannya terhadap berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Sementara K Ajram menilai kalau Leonardo da Vinci adalah Al-Biruni-nya Kristen. Alasannya, Al-Biruni hidup lima abad lebih dahulu dari pada da Vinci. Sehingga sumbangsih Al-Biruni dalam ilmu pengetahuan lebih orisinil.
Abu Raihan Muhammad bin Ahmad Al-Biruni lahir pada 4 September 973 M di Kath, ibu kota Khawarizm (kini wilayah Uzbekistan). Sejak kecil Al-Biruni sudah tertarik dengan matematika dan astronomi. Dalam perjalanan hidupnya, Al-Biruni mempelajari banyak disiplin ilmu pengetahuan seperti sejarah, geografi, fisika, filsafat, dan agama.
Karena pergolakan politik yang ada pada saat itu, Al-Biruni berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Maklum pada saat itu ilmuwan Muslim –termasuk Al-Biruni- membaca, meneliti, dan melakukan eksperimen hingga menemukan teori di bawah pengawasan dan penjagaan seorang khalifah. Jika sang khalifah atau sultan menginginkannya, maka kehidupan ilmuwan terjamin. Begitu sebaliknya.
Merujuk buku Al-Biruni: Pakar Astronomi dan Ilmuwan Muslim Abad ke -11, mulanya Al-Biruni tinggal di istana Dinasti Banu Irak, yang menguasai sisi timur Khawarizm dengan ibu kota Kath. Namun ketika Abu Ali Ma’mun bin Muhammad dari Dinasti Ma’muni mengalahkan Dinasti Banu Irak dan mempersatukan wilayah Khawarizm pada 995 M, Al-Biruni meninggalkan kota kelahirannya karena takut nyawaya terancam. Pada saat ini, Al-Biruni telah berhasil menyusun sebuah kitab berjudul Kartografi, tentang ilmu peta.
Al-Biruni kemudian pindah ke kota Rayy (sekarang dekat dengan Teheran, Iran), salah satu pusat pusat astronomi pada saat itu selain Khawarizm dan Baghdad. Di kota ini, Al-Biruni terus mengembangkan kemampuannya di bidang astronomi. Namun sayang, penguasa Rayy saat itu Fakhrul Daulah tidak bersedia menerima Al-Biruni untuk ‘bekerja’ di istananya. Selama di Rayy, Al-Biruni menyelesaikan kitab Tahdid Nihayat al-Amakin li Tashbih Masafat al-Masakin (Penentuan Kedudukan Tempat untuk Memastikan Jarak antar Kota).
Penolakan di Rayy tidak membuat Al-Biruni ciut. Ia akhirnya pindah ke Gorgon. Syamsul Ma’ali Qabus, penguasa Gorgon, mengundang Al-Biruni untuk berkarya di istananya. Dengan dukungan moril dan materil yang memadahi di Gorgon, Al-Biruni betul-betul memaksimalkan kemampuannya. Ia banyak membaca, menulis, bepergian ke kota-kota untuk memetakan garis lintang, dan menganalisa peristiwa-peristiwa antariksa seperti gerhana bulan. Beberapa kitab yang berhasil ditulis Al-Biruni selama di Gorgon antara lain Kitab Sisa Pengaruh Masa Lampau, Risalah Tajrid al-Sha’at (Risalah Khusus Saat), dan lainnya.
Di wilayah lain, Abu Ali Ma’mun bin Muhammad penguasa Dinasti Ma’muni. Ia kemudian digantikan Abul Hasal Ali. Berbeda dengan pendahulunya, Abul Hasal Ali memiliki impian untuk memenuhi istananya dengan ilmuwan-ilmuwan hebat. Maka kemudian ia mengundang Al-Biruni untuk pulang kampung ke Khawarizm dan tinggal istana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Bak gayung bersambut, Al-Biruni menerima tawaran tersebut.
Gejolak politik lagi-lagi membuat Al-Biruni harus pindah ke tempat lain. Pada saat Dinasti Ghaznawi mengalahkan Dinasti Ma’muni dan menguasai wilayah Khawarizm, maka Al-Biruni diboyong ke Istana Mahmud Ghaznawi. Beruntung bagi Al-Biruni karena penguasa Ghaznawi sangat menghargainya. Al-Biruni diberikan dukungan moril dan materil untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di bawah penjagaan Istana Ghaznawi. Al-Biruni tinggal di Ghaznawi selama kurang lebih 30 tahun. Ia wafat di Ghaznah pada 1048.
Di Istana Ghaznawi, Al-Biruni menulis beberapa kitab monumental diantaranya Masamiri Khawarizm (Revolusi Khawarizm), Tarikh al-Hind (Tarikh India), Penentuan Kedudukan Tempat untuk Memastikan Jarak antar Kota, Kitab Pemahaman Puncak Ilmu Bintang, al-Qonun al-Mas’udi, kitab Layl wa al-Nahar (Kitab Malam dan Siang), Kitab Bahan Obat, dan lainnya.
Penghitung pertama keliling bumi
Al-Biruni dikenal sebagai seorang ilmuwan eksperimentalis. Ia melakukan penelitian ulang terhadap teori-teori yang sudah ada dan berkembang untuk membuktikan kebenarannya. Misal teori Aristoteles tentang penglihatan. Aristoteles meyakini bahwa penglihatan diakibatkan oleh sinar yang memancar dari mata dan menuju suatu benda. Sementara, Al-Biruni menyatakan bahwa penglihatan merupakan hasil pantulan cahaya pada benda yang masuk ke mata.
Al-Biruni juga ‘tidak terima’ dengan penemuan sebelumnya. Ia selalu menciptakan alat-alat baru yang dianggapnya lebih canggih dari pada alat yang diciptakan ilmuwan sebelumnya. Misalnya Abu Sa’id Sijzi telah menciptakan Astrolabe heliosentris yang dinilai akurat. Namun Al-Biruni tetap membuat dan mengembangkan Astrolabenya sendiri. Astrolabe yang diberi nama al-Ustawani tersebut tidak hanya dapat mengukur gerak benda langit, tapi juga bisa mengukur lokasi-lokasi di bumi yang sulit dijangkau seperti gunung.
Al-Biruni juga melakukan penelitian terhadap sesuatu ilmu pengetahuan yang ‘belum pernah digarap’ oleh ilmuwan sebelumnya. Salah satu sumbangsih orisinil Al-Biruni adalah keliling bumi. Iya, Al-Biruni adalah orang pertama yang menghitung keliling bumi. Ia melakukan hal itu pada abad ke-11, ketika masih ramai perdebatan antara apakah bentuk bumi bulat atau datar.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam buku Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam, Al-Biruni menggunakan pendekatan perhitungan trigonometri dan memakai Astrolabe al-Ustawani buatannya sendiri untuk menghitung keliling bumi.
Ada beberapa langkah yang ditempuh Al-Biruni untuk mengukur keliling bumi. Pertama-tama, Al-Biruni meyakini kalau bumi itu bulat. Dari sini kemudian ia mencari jari-jari bumi untuk mencari keliling bumi. Al-Biruni cukup beruntung karena pada saat itu besaran phi (π) sudah ditemukan ilmuwan sebelumnya, Al-Khawarizmi.
Di samping itu, Al-Biruni mengukur tinggi gunung yang merupakan sebuah titik permukaan bumi. Al-Biruni mengukur tinggi gunung –disebutkan bahwa gunung tersebut berada di India atau Pakistan- dengan menggunakan Astrolabenya. Caranya ia mengarahkan Astrolabenya ke dua titik berbeda di daratan. Kemudian tangen sudutnya dikalikan dan dibagi selisih tangen dua sudut tersebut dengan rumus trigonometri.
Al-Biruni kemudian mengarahkan Astrolabenya ke titik cakrawala dan membuat garis imajiner 90 derajat yang menembus bumi. Al-Biruni membuat segitiga siku-siku raksasa antara posisi dia berdiri, titik horizon, dan inti bumi. Dikutip laman Owlcation, Al-Biruni mengetahui kalau jari-jari bumi adalah 6.335,725 km dari penghitungannya. Sumber lain menyebutkan kalau jari-jari bumi 6.339,9 km. Lalu kemudian Al-Biruni menggambar bumi dalam dimensi dua yakni berupa lingkaran.
Setelah mendapatkan data-data tersebut, Al-Biruni menghitung keliling bumi dengan rumus keliling lingkaran. Maka hasilnya adalah 40.075 km. Sementara penghitungan modern keliling bumi adalah 40.075,071 km. Artinya penghitungan Al-Biruni hanya meleset 1 persen dari penghitungan modern.
Sementara dalam buku Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam, perhitungan Al-Biruni tentang keliling bumi adalah 40.225 km. Adapun penghitungan modern keliling bumi adalah 40.074. Dengan demikian penghitungan Al-Biruni sangat akurat, yakni mencapai ketepatan hingga 99,62 persen dan hanya menyimpang 0,38 persen.
Sebuah penghitungan yang sangat mengagumkan mengingat Al-Biruni melakukannya pada abad ke-11. Pada era dimana ilmu pengetahuan dan teknologi belum berkembang secanggih seperti saat ini. Pada saat itu, data tentang jari-jari dan potret bumi juga belum diketahui seperti saat ini. Namun dengan menggunakan cara-cara nonkonvensional dan kreatif, Al-Biruni akhirnya berhasil mengukur keliling bumi. (A Muchlishon Rochmat)