Dalam catatan sejarah, penghujung Sya’ban bisa dikatakan bulan duka karena ada beberapa ulama besar yang wafat. Salah satunya adalah Ibnu Hazm al-Andalusi, seorang ulama literalis yang berperan penting dalam penyebaran madzhab Dzahiriyah di Barat.
Memiliki nama lengkap Ali bin Ahmad bin Sa’ad bin Hazm bin Ghalib bin Shalih bin Abu Sufyan bin Yazid, ulama berkebangsaan Spanyol ini dilahirkan di sebelah timur Cordoba pada hari Rabu pagi menjelang matahari terbit, bertepatan akhir Ramadhan 384 H (7 November 994 M).
Kemudian, Ibnu Hazm wafat di kampung halamannya pada 28 Sya’ban 456 H, bertepatan dengan tanggal 15 Juli 1063 M, dalam usianya yang ke-69 tahun. Melihat data tanggal kelahirannya yang begitu detail, tidak seperti tokoh-tokoh pada umumnya, menunjukkan bahwa peradaban di Spanyol saat itu sudah demikian maju, dan hal itu tergambar dari cara mereka mencatat tanggal, tahun, sampai jam kelahiran seseorang.
Sebagaimana diketahui, banyak tokoh-tokoh besar yang tanggal tidak begitu rinci data tanggal lahirnya. Kadang hanya tahun, bahkan karena datanya tidak kuat sampai terjadi silang pendapat para sejarawan terkait tahun kelahiran seorang tokoh.
Jika kita perhatikan, kata ‘Ibnu Hazm’ berarti ‘anak dari Hazm’. Tapi sebenarnya Hazm bukanlah ayahnya, melainkan kakeknya. Hal seperti ini memang sudah lumrah terjadi di dunia Muslim. Contoh saja Ibnu Daqiqil ‘Ied, Daqiqil ‘Ied bukanlah nama ayah ulama berkebangsaan Mesir ini, melainkan nama julukan bagi kakeknya.
Keluarga Ibnu Hazm berasal dari Desa Manta Lisyam, dekat Huelva, kawasan lembah sungai Odiel di Distrik Niebla, Spayol. Ayahnya sendiri, Hazm, pernah menduduki posisi politik penting, yaitu sebagai seorang menteri (wazir) pada masa pemerintahan khalifah Bani Umayyah, Al-Manshur dan Al-Mudzaffar. Melihat status ayahnya, jelas Ibnu Hazm berasal dari keluarga cukup mapan, dan dengan kondisi ekonomi yang berkecukupan inilah membuatnya bisa lebih fokus mencari ilmu, tidak perlu memikirkan biaya pendidikan.
Karir intelektual
Hidup di negara dengan kultur akademik yang maju membuat Ibnu Hazm mendapat fasilitas yang sangat menunjangnya untuk menjadi sosok yang sangat mencintai pengetahuan. Spanyol memang pernah mencapai kemajuan intelektual cukup pesat, terutama pada masa Khalifah Abdurrahman III an-Nashir (300-350 H) hingga puncaknya pada masa Khalifah Al-Hakam II al-Muntashir (350-366 H).
Ditambah lagi, Ibnu Hazm tumbuh di lingkungan keluarga elit aristokrat yang sudah tentu memiliki kecukupan harta. Kendati demikian, tidak membuat Ibnu Hazm malas untuk menuntut ilmu. Ia justru memiliki sengat belajar yang tinggi. Kondisi negara yang mendukung, keluarga yang support, dan semangat belajar yang kuat menjadi komposisi komplit bagi penunjang karir intelektual Ibnu Hazm.
Mulanya Ibnu Hazm tumbuh sebagai seorang penganut madzhab Maliki, tidak lama kemudian berpindah ke madzhab Syafi’i. Terakhir, ia menganut madzhab Dzahiri. Yang terakhir ini merupakan madzhab bercorak literalis dalam mengambil hukum (ber-istinbath) dari Al-Qur’an dan hadits.
Ibnu Hazm tampaknya cukup loyal dengan madzhab ad-Dzahiri ini, bahkan turut andil besar dalam menyebarkannya dengan beragam upaya seperti menjadikan tempat tinggalnya sebagai pusat pengembangan dan pengaderan madzhab tersebut dan tidak lupa membukukan dasar-dasar madzhab yang didirikan oleh Imam Dawud adz-Dzahiri ini.
Upaya Ibnu Hazm cukup berhasil. Ia mampu menelurkan kader-kader penerus madzhab adz-Dzahiri, termasuk di antaranya adalah ketiga putranya; Abu Rafi’ al-Fadhl, Abu Sulaiman al-Mash’ab, dan Abu Usmah Ya’qub. Pasca kewafatan Ibnu Hazm, muridnya yang bernama Abu Abdillah Muhammad bin Abi Nashr al-Humaidi juga turut andil menyebarkan madzhab ini ke Timur.
Sebagai seorang ulama terkemuka dengan karir intelektual sangat mapan, Ibnu Hazm juga menulis sejumlah kurang lebih 400 kitab, di antaranya yaitu; an-Nasikh wa al-Mansûkh, at-Taqrib fi Hududil Manthiq, Jamahiratul Ansab, Ibthalul Qiyas war Ra’y wal Istihsan wat Taqlid wat Ta’lil, al-Ihkam fî Ushûlil Ahkâm, al-Fashl fîl Milal wal Ahwa’ wan Nihal, Jawami’us Siyaratin Nubuwwah, Naqthul ’Arus fî Tawarikhil Khulafa’, Thauqul Hamamah, Al-Mufadhalah bainas Shahabah, Risalah Fadhlul Andalus, Masailu Ushil Fiqh, al-Muhalla, dan al-Akhlaq was Siyar fî Madawatin Nufus.
Komentar ulama
Nama Ibnu Hazm cukup harum di kalangan ulama besar dan umat Muslim pada umumnya. Berikut adalah beberapa komentar sejumlah ulama tentang dirinya.
Al-Humaidi (salah satu muridnya) berkata, “Ibnu Hazm al-Andalusi merupakan seorang hafidz, pakar ilmu hadits dan fiqih, mampu ber-istinbath hukum-hukum syariat langsung dari Al-Qur’an dan hadits, berpengetahuan luas serta mengamalkannya, dengan ilmu yang dimilikinya ia zuhud; meski ia sendiri dan ayahnya seorang pejabat negara, sosok yang tawadhu, memiliki banyak keutamaan, dan punya segudang karya.”
Imam al-Ghazali berkata, “Terkait pembahasan asmaul husna, aku mememukan sebuah kitab karya Ibnu Hazm yang menunjukkan kuat hafalannya dan kecerdasan daya pikirnya.”
Imam Jalaluddin as-Suyuthi berkata, “Ibnu Hazm adalah penulis produktif, wara’, zuhud, memiliki puncak kecerdasan dan hafalan, berpengetahuan luas. Ulama Andalusia (Spanyol) sendiri sepakat bahwa penguasaan ilmu agamanya luas, serta memahami ilmu lisan, sastra bahasa Arab, sya’ir, dan sejarah.”
‘Izzuddin bin Abdissalam berkata, “Belum pernah aku melihat kitab yang berisi tentang pengetahuan agama Islam yang menandingi kitab al-Muhalla karya Ibnu Hazm dan al-Mughni karya Ibnu Qudamah.”
Sumber:
Ibnu Hazm, al-Muhalla fil Atsar, (Beirut: Darul Kurub al-‘Ilmiah, 2022), juz I, halaman 5-10.
Syamsuddin al-Qurthubi, al-Asna fi Syarhi Asma’illahil Husna wa Shifatih, (Beirut: Maktabah al-‘Ashriyah, 2005), halaman 10.
Syamsuddin adz-Dzahabi, Tarikhul Islam wa Wafayatul Masyahir wal A’lam, (Beirut: Darul Kitab al-‘Arabi, 1994), Halaman 410.
Penulis: Muhamad Abror
Editor: Fathoni Ahmad