Imam Muslim bin Al-Hajjaj, Pecinta Ilmu Hadits Sejak Usia Belia
Kamis, 19 Januari 2023 | 16:00 WIB
Abad ketiga hijriah adalah masa di mana dunia keilmuan umat Islam mengalami golden age, terlebih pada bidang ilmu hadits. Banyak kitab ilmu hadits yang lahir pada abad ini dengan tema yang beragam. Mulai dari dokumentasi hadits shahih, dokumentasi hadits yang berkaitan dengan hukum (ahaditsul ahkam), penjelasan istilah-istilah dalam ilmu hadits, dan lain-lain. Nama-nama besar seperti Imam Al-Bukhari, Ibn Ma’in, Ahmad bin Hanbal, dan Abu Dawud turut menghiasi masa ini.
Pada tahun 206 H di Neyshabur, sebuah kota di Iran bagian utara, lahir seorang anak yang kelak menjadi salah satu tokoh terbesar dalam sejarah Islam. Anak tersebut merupakan putra seorang ulama keturunan Arab dari kabilah Qusyairi bernama Al-Hajjaj. Ia adalah Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi An-Naisaburi, penyusun kitab Shahih Muslim. Sejak kecil, Imam Muslim bin Al-Hajjaj sudah mencintai ilmu hadits. Menurut catatan Adz-Dzahabi, Muslim bin Al-Hajjaj sudah mengumpulkan riwayat hadits sejak umur 12 tahun, tepatnya pada tahun 218 H. (Syamsuddin Adz-Dzahabi, Tadzkiratul Huffazh, [Beirut: Darul Kutubil ‘Ilmiyyah], juz II, halaman 125).
Tumbuh sebagai pecinta ilmu, Muslim bin Al-Hajjaj seolah tak pernah merasa puas dengan pencapaiannya. Cinta dan semangatnya terhadap ilmu, khususnya ilmu hadits tidak terkikis oleh waktu. Setelah belajar pada para ulama tanah kelahirannya seperti Ibnu Rahuwaih dan Yahya bin Yahya, ia berkeliling ke negeri-negeri Islam untuk berguru pada para ulama di tempat-tempat tersebut. Ia pergi ke Iraq berguru pada Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Maslamah, mengunjungi Ray dan berguru pada Muhammad bin Mihran, mengembara ke Hijaz dan mengais ilmu dari Sa’id bin Manshur dan Abi Mush’ab, dan mendatangi Mesir berguru pada ‘Amr bin Sawwad dan Harmalah bin Yahya, murid Imam Syafi’i. Bahkan Al-Bukhari juga tercatat sebagai salah satu guru Muslim bin Al-Hajjaj. (Muhammad Al-Maliki, Al-Manhalul Lathif, [Riyadh: Darul Minhaj, 2019], halaman 260). (Muhammad Abdurrahman Thawalibah, Al-Imamu Muslim wa Manhajuhu fi Shahihih, [Amman: Dar ‘Ammar, 2000], halaman 43).
Di samping kedalaman ilmu yang dimiliki, Imam Muslim bin Al-Hajjaj adalah seorang pedagang pakaian. Tidak mengherankan, karena pada masa itu Neyshabur menjadi kota fashion, dalam arti produk pakaian kota tersebut banyak diminati oleh masyarakat mancanegara, termasuk para penguasa. Bagi Muslim bin Al-Hajjaj, berdagang bukanlah sesuatu yang dapat menghalangi kinerja keilmuannya, bahkan di toko tempat ia berdagang, ia masih sempat mengajar. (Abdurrahman Thawalibah, Al-Imamu Muslim, halaman 19).
Nikmat ilmu Muslim bin Al-Hajjaj seolah begitu sempurna. Selain diberi keinginan kuat untuk memperdalam ilmu, ia diberi kemudahan rizqi untuk melancarkan berbagai kebutuhan ilmunya, dipertemukan dengan para guru yang luar biasa, dan juga memiliki murid-murid yang luar biasa. Nama-nama besar seperti Abu Isa At-Tirmidzi penulis Sunan At-Tirmidzi, Muhammad Ibnu Khuzaimah penulis Shahih Ibn Khuzaimah, dan Abu ‘Awanah penulis Shahih Ibn ‘Awanah, tercatat sebagai bagian dari orang-orang yang mengambil ilmu dari Imam Muslim bin Al-Hajjaj. (Al-Maliki, Al-Manhalul Lathif, halaman 260).
Tokoh besar ini wafat pada bulan Rajab tahun 261 H dalam usia yang belum genap 55 tahun. Dalam bidang keilmuan, ia mewariskan banyak kitab karangannya, selain kitab Shahih-nya. Ada banyak karya lain yang ia tinggalkan, di antaranya At-Tamyiz, sebuah kitab tentang teori kritik hadits (naqdul hadits), At-Thabaqat, dan Asma’ur Rijal. Namun sayangnya banyak kitab karangannya yang tidak terawat dengan baik, hingga kita hanya mendengar nama-namanya saja tanpa pernah melihat wujudnya. Wallahu a’lam.
Ustdaz Rif'an Haqiqi, Pengajar di Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyyah Berjan Purworejo