Tokoh

Jimly, Seniman Kaligrafi Internasional dari Jember

Selasa, 5 Maret 2019 | 06:02 WIB

Jember, NU Online
Ahmad  Jimly Ashari, namanya. Masih muda, usianya baru  25 tahun. Namun lajang asal Ambulu, Jember, Jawa Timur ini  mempunyai  prestasi yang luar bisa di dunia seni kaligrafi. Sederet  piala berjejer rapi di rak pondoknya. Prestasinya menjamah level nasional bahkan internasional. Di antaranya adalah juara nasional  kaligrafi khot naskhi  di Jombang (2015). Karena prestasinya yang menumpuk,  pada tahun 2013, Jimly dipercaya mewakili Indonesia untuk ikut pameran kaligrafi di Aljazair. Tidak cukup sampai di situ, dalam lomba internasional  di Turki (2018), karyanya terpilih masuk 5 besar.

“Alhamdulillah, berkat usaha dan doa kita semua,” ucapnya kepada NU Online di kompleks  Pondok Pesantren Darus Sholah, Jalan Moh Yamin  Nomor 25, Kelurahan Tegalgesar, Kecamatan Kaliwates, Kabupaten Jember, Jawa Timur, Senin (4/3).

Ustadz Jimly, sapaan akrabnya,  mengaku tertarik dengan seni kaligrafi sejak kecil. Lingkungan pesantren (Darus Sholah), tempatnya menuntut ilmu dirasa cukup mendukung bakat seni kaligrafinya. Ketika kelas SMP Darus Sholah, Jimly mengaku termotivasi oleh gurunya, Ustadz Fuad Harun.

“Beliau yang memotivasi saya pertama kali,” kenangnya.

Sejak saat itu, pemuda kelahiran Jember 6 Juni 1993 dari pasangan Suprapto dan Susilatin ini, tancap gas, menekuni seni kaligrafi. Dalam proses belajar, Ustadz Jimly tidak mencukupkan diri di lingkungan pesantren, tapi juga mencari guru kaligrafi di Malang dan Jombang untuk meningkatkan keterampilannya. Bahkan juga berguru  secara online kepada  ahli kaligrafi  di Maroko (Syeikh Bilaid Hamidi) dan Palestina (Ehad Ibrahim Tsabit). Keduanya adalah sosok yang cukup terkenal sebagai master kaligrafi dunia.

“Sejak tahun 2013 hingga sekarang saya berguru kepada kedua beliau. Belajarnya  lewat email,” urainya.

Bagi Ustadz Jimly, kaligrafi bukan sekedar tulisan arab yang dipoles, tapi juga seni yang mengandung pesan teramat jelas. Sebab, yang ditulis adalah firman  Allah. Sehingga kaligrafi juga menjadi media dakwah. Kalau soal keindahan, kaligrafi tidak hanya diakui oeh warga Muslim, tapi non Muslimpun tak sedikit yang mencintai kaligrafi.

“Ada juga non Muslim yang senang kaligrafi, tapi mereka cuma cinta keindahannya, bukan cinta dan atau ingin memahami isinya,” jelas Ustadz Jimly.

Saat ini selain menjadi guru kaligrafi di Darus Sholah, Ustadz Jimly juga ngopeni santri yang berbakat kaligrafi. Di luar itu, ia juga membuka kelas online. Muridnya dari Surabya, Malang, dan Bali.

“Kemaren ada yang dari Malaysia juga mau ikut belajar online, tapi saya belum memberi jawaban,” ucapnya.

Benar, kaligrafi bukan sekedar menulis kalimat Arab yang indah, tapi juga banyak pesan yang muncul dari kalimat yang ditulis. Anak-anak dan pelajar  memang perlu terus didorong untuk mencintai kaligrafi di tengah pusaran globalisasi budaya yang semakin masif agar kaligrafi tak mati suri.

Dan untuk itu, Jember telah memulai di bawah bimbingan Ustadz Jimly, sang seniman kaligrafi  Internasional (Aryudi AR).



Terkait