Tokoh

KH Ahmad Mustofa Bisri: Perjalanan Sang Kiai, Seniman, dan Budayawan

Sabtu, 10 Agustus 2024 | 09:50 WIB

KH Ahmad Mustofa Bisri: Perjalanan Sang Kiai, Seniman, dan Budayawan

KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus). (Foto: NU Online/Suwitno)

Kiai, sastrawan, dan pelukis, serta selama beberapa periode menjadi Rais Syuriyah PBNU, Wakil Rais Aam Syuriyah PBNU (2010-2014), dan Pj Rais Aam PBNU (2014-2015). Ahmad Mustofa Bisri lahir di Rembang, Jawa Tengah, 10 Agustus 1944. Sebagaimana santri pada zamannya, Gus Mus, demikian panggilan akrabnya, menjadi santri kelana di beberapa pesantren, di antaranya Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta, dan Raudlatuth Tholibin Leteh, Rembang, pesantren ayahnya sendiri. la kemudian belajar di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir. Selama di Mesir ia menjadi sahabat karib Abdurrahman Wahid (Gus Dur).


Sejak pulang dari Kairo, Gus Mus kembali ke Rembang dan ikut mengelola Pesantren Raudlatuth Tholibin dan kini menjadi pimpinannya. Sebagai kiai, ia aktif memberikan ceramah ke berbagai daerah dan rajin menerjemah karya-karya keagamaan dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia dan bahasa Jawa.


Karya-karya terjemahannya yang telah diterbitkan antara lain: Dasar-dasar Islam (1401 H), Ensiklopedi Ijma’ (bersama KH MA Sahal Mahfudh, 1987), Kimiya-us Sa'aadah (bahasa Jawa, Penerbit Assegaf Surabaya), Syair Asmaul Husna (bahasa Jawa, Penerbit al-Huda Temanggung), Mahakiai Hasyim Asy’ari (1996), Metode Tasawuf al-Ghazali (1996), al-Muna (1997). la juga rajin menulis esai sosial keagamaan yang sebagian juga telah diterbitkan, seperti Mutiara-Mutiara Benjol (1994), Saleh Ritual Saleh Sosial (1995), Pesan Islam Sehari-hari (1997), dan Fikih Keseharian I-II (1997).


Menembus dinding pesantren

Di luar statusnya sebagai kiai, nama Gus Mus terkenal melampaui dinding-dinding pesantren dan lingkaran NU, yaitu sebagai seorang penyair, cerpenis, dan pelukis. Puisi-puisinya mengandung sindiran sosial dan politik yang lucu tapi tajam, pedas tapi tidak menyakitkan, sederhana tapi mengena. Salah satunya yang terkenal berjudul "Kau Ini Bagaimana atawa Aku Harus Bagaimana”. Berikut petikannya:


Kau ini bagaimana?
kau bilang aku merdeka,
kau memilihkan untukku segalanya
kau suruh aku berpikir,
aku berpikir kau tuduh aku kafir aku harus bagaimana?
kau bilang bergeraklah,
aku bergerak kau curigai
kau bilang jangan banyak tingkah,
aku diam saja kcru waspadai
kau ini bagaimana?

 

Ditulis pada era Orde Baru yang otoriter, puisi-puisi Gus Mus terutama yang terangkum dalam Antologi Ohoi (1991) bersanding dengan puisi-puisi protes W.S. Rendra dan Wiji Thukul, kerap dibacakan kalangan aktivis mahasiswa dan LSM dalam aksi-aksi protes. Gus Mus menamai puisi-puisinya sebagai "puisi-puisi balsem", sebuah metafora yang menunjukkan nilai paradoks dari puisi tersebut: panas tapi dibutuhkan, nyelekit tapi tidak bikin sakit.


Setelah kumpulan puisi Ohoi-nya itu, Gus Mus melahirkan lagi setidaknya tujuh kumpulan puisi: Tadarus, Antologi Puisi (1993), Wekwekwek: Sajak-sajak Bumi Langit (1993), Rubaiyat Angin dan Rumput (1995), Pahlawan dan Tikus (1995), Gelap Berlapis-lapis (tt), Gandrung, Sajak-Sajak Cinta (2000), dan Negeri Daging (2002).


Karakter umum puisi Gus Mus adalah penggunaan bahasa sehari-hari dan gaya pengucapan lugas. Tetapi, di balik kesederhanaannya itu terkandung makna dalam dan tajam. Dalam konsepsi puisi, hal ini disebut sebagai "kesederhanaan yang mengelabui" (deceptive simplicity).


Selain lugas dan sederhana, ciri lainnya adalah penggunaan diksi-diksi keagamaan dalam mengekspresikan masalah-masalah sosial. Karena diksi itu, orang kadang memandang tema puisinya bersifat religius, padahal sosial. Karena sebenarnya memang pesannya bersifat sosial. Tetapi tak bisa diabaikan, dalam hal ini, puisi Gus Mus juga memiliki muatan religius, atau lebih khusus lagi, muatan sufistik, seperti tampak dalam "Persaksian" dari antologi Sajak-Sajak Cinta: Gandrung berikut:


Aku bersaksi/tiada kekasih/kecuali kau
Aku bersaksi tiada kekasih/
kecuali kasihmu
Aku bersaksi tiada rindu/kecuali rinduku/
kepadamu
Aku bersaksi/hanya kepadamu/kasihku/
hanya kepadamu


Sajak di atas, yang menyoal hubungan karib "aku" dan "kau” sebagai hamba dan Tuhan, makhluk dan pencipta, segera mengingatkan kita pada bait-bait sajak sufistik Rumi atau Hafidz. Gus Mus sendiri jelas akrab dengan syair-syair sufistik seperti ini. Di dalam puisi Gus Mus, sebagaimana umumnya sastra sufi, banyak mempersoalkan prinsip tauhid, ke-"ada"-an Tuhan, gagasan fana-baqa, campur tangan Tuhan dan kebebasan, dan sejenisnya.


Awal mengakrabi puisi

Gus Mus mulai mengakrabi puisi saat belajar di Kairo. Ketika itu Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Mesir membuat majalah. Salah seorang pengasuhnya adalah Gus Dur. Setiap kali ada halaman kosong, Gus Mus diminta mengisi dengan puisi-puisi dan ilustrasi-ilustrasinya.


Pada 1987, ketika menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Gus Dur menggelar acara "Malam Palestina". Dalam acara itu ia mengundang Gus Mus yang fasih berbahasa Arab, untuk membacakan puisi karya penyair Timur Tengah dalam bahasa aslinya dan juga puisi-puisinya sendiri. Sejak itulah Gus Mus mulai bergaul dengan para penyair dan mengakrabi puisi lagi.


Cerpenis

Selain sebagai penyair, Gus Mus juga rajin menulis cerpen. Cerpennya, "Gus Jakfar", masuk sebagai salah satu cerpen terbaik Kompas pada 2003. Cerpen-cerpennya yang tersebar di berbagai media massa telah dikumpulkan dalam Lukisan Kaligrafi (2003), yang kemudian menerima hadiah Sastra Mastera 2005 dari Pemerintah Malaysia.


Cerpennya juga hadir dengan bahasa sederhana, mudah, dan mengalir. Ceritanya banyak mengambil latar belakang pesantren dan berkisah secara biografis sosok-sosok di dunia pesantren dan pedesaan dalam menghadapi pergeseran nilai serta perubahan sosial. Tetapi, realitas dunia memang selalu abu-abu: desa dan kota, rasional dan irasional, tertutup dan terbuka, dan seterusnya.


Gus Mus memainkan tarik-menarik dan tawar-menawar realitas sosial yang tak pasti ini. Melalui tokoh-tokohnya, ia menyindir dan menyoraki mereka yang yakin bisa menggenggam realitas dengan pasti dan bulat.


Seorang pelukis

Tak bisa diabaikan juga status Gus Mus sebagai pelukis. Kemampuan ini diasah sejak nyantri di Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Diam-diam ia sering menyaksikan langsung Affandi, maestro lukis Indonesia, melukis. Sebagai pelukis, ia beberapa kali ikut pameran di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan kota lain.


Lukisannya Berdzikir Bersama lnul, ikut dipamerkan di Masjid Al-Akbar Surabaya (MAS) pada 4-8 Maret 2003. Lukisan ini sempat mengundang kehebohan masyarakat dan mendapat kecaman karena dianggap membela Inul, penyanyi dangdut yang saat itu sedang dikecam karena goyang ngebornya. Tetapi, dari Iukisan itu, Gus Mus jelas menyindir hipokrisi yang luas di masyarakat.


Karya seni Gus Mus, terutama puisi, telah menjadi subjek penelitian di banyak perguruan tinggi. Sebagai seniman, ia berkali-kali diundang ke mancanegara, baik Eropa maupun Timur Tengah, untuk membacakan puisi-puisinya maupun berceramah.


Pada 30 Mei 2009, Gus Mus memperoleh gelar doktor honoris causa dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam penganugerahan gelar itu, ia menyampaikan pidato yang berjudul Mengkaji Ulang Beberapa Konsep Keislaman sebagai Mukaddimah Reformasi Keberagaman untuk Mengembalikan Keindahan Islam.


Selamat hari lahir yang ke-80 tahun, Gus Mus.


Sumber: Ensiklopedia Nahdlatul Ulama Jilid 3 (PBNU, 2014)