Tokoh

KH Sya'roni Ahmadi: Ulama Qiraat dan Warisan Intelektualnya Kitab Faidhul Asani

Kamis, 30 Oktober 2025 | 14:37 WIB

KH Sya'roni Ahmadi: Ulama Qiraat dan Warisan Intelektualnya Kitab Faidhul Asani

KH Syaroni Ahmadi (Foto: http://www.qudsiyyahputri.com)

Kudus, sebuah kota kecil yang strategis di jalur Pantura Jawa Tengah, dikenal dengan julukan kota santri. Julukan ini tak lepas dari banyaknya pondok pesantren yang berdiri di wilayah ini, menjadikannya pusat pendidikan dan penyebaran ajaran Islam. 


Ikon utama kota ini adalah Menara Kudus, sebuah simbol megah yang melambangkan persatuan, toleransi beragama, dan akulturasi budaya yang merupakan warisan abadi dari ajaran Islam yang dibawa Sunan Kudus.


Dari "rahim" Kota Kudus ini telah lahir banyak ulama besar yang membawa cahaya keilmuan dan keteladanan. Salah satu tokohnya adalah KH Muhammad Sya'roni Ahmadi.


Kehidupan Pribadi dan Keluarga
KH Muhammad Sya'roni Ahmadi dilahirkan di Kudus pada tanggal 17 Agustus 1931. Ia adalah anak ketujuh dari delapan bersaudara, putra dari pasangan Bapak H. Ahmadi dan Nyai Hj. Masnifah.


Pada tahun 1962 M, KH Muhammad Sya'roni Ahmadi menikah dengan seorang gadis bernama Afifah. Dari pernikahan ini, beliau dikaruniai delapan orang anak, yaitu: Zuhairah, Zulaifah, Zuhaidah, Zuhailah, Zufairiyyah, Muhammad Yusrul Hana, Muhammad Yusrul Falah, dan Manunul Ahna.


Ia berpulang ke Rahmatullah pada Selasa, 27 April 2021 M yang bertepatan dengan 15 Ramadan 1442 H. Kabar wafatnya membawa duka mendalam bagi masyarakat Kudus, para muhibbin, dan santri-santrinya.


Ia dimakamkan di kompleks kediaman beliau sendiri, tepatnya di sebelah barat aula belakang ndalem di Dukuh Pagongan, Desa Kajeksan, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. 


Pendidikan 
Sejak usia dini, KH Sya'roni telah menunjukkan kecerdasan, ketekunan, dan semangat (ghirah) belajar yang luar biasa. Hal ini terbukti dari pencapaiannya.


Pada usia 11 tahun, ia mampu menghafal Nadham Alfiyah (1002 bait). Pada usia 14 tahun berhasil menghafal Al-Qur’an 30 juz. Pada usia 14 hingga 26 tahun ia fokus mendalami ilmu-ilmu Islam melalui pengkajian kitab kuning.


KH Sya'roni menempuh pendidikan di Madrasah Ma’ahid Kudus pada pagi hari, di bawah kepemimpinan Kiai Muhit, dan sore harinya belajar di Madrasah Mu’awanah Kudus. Sementara pendidikan nonformal, ia banyak menimba ilmu dari para kiai terkemuka di Kudus. Para kiai tersebut adalah Sayyid Abdillah Dema’an, KHR. Asnawi Kudus, KH Turaichan Adjuhri, KH Arwani Amin, KH Hambali, KH Turmudzi, dan ulama lainnya.


Berkat kecerdasan, ketekunan, dan kedisiplinan di atas rata-rata, KH Sya'roni Ahmadi diakui sebagai salah satu ulama yang handal dalam berbagai disiplin ilmu, terutama dalam bidang tafsir dan qira’ah sab’ah.


Tak heran kemudian pada tahun 1953 M, ia pernah diundang secara khusus oleh Presiden Soekarno ke Istana Negara untuk membacakan Al-Qur’an dengan qira’ah sab’ah.


Pengabdian
Sejak masa muda hingga akhir hayatnya di usia 86 tahun, seluruh waktu KH Sya'roni Ahmadi dihabiskan untuk menyebarkan ilmu agama, berdakwah, dan mengabdi kepada masyarakat Kudus.


Kegiatan utama dia adalah di Madrasah Qudsiyyah (didirikan oleh KHR Asnawi) dan Madrasah Diniyyah Nahdhatul Ulama Keradenan Kudus (didirikan oleh KH Arwani Amin).


Selain itu, dia juga mengampu pengajian rutin Tafsir Jalalain di Masjidil Aqsho Menara Kudus setiap Jumat pagi setelah Shalat Subuh, yang dihadiri oleh ratusan santri dan masyarakat dari Kudus dan sekitarnya.


KH Sya'roni Ahmadi juga memiliki peran besar dalam berbagai aspek, termasuk politik dan pengembangan pendidikan:


Pada masa penjajahan, ia aktif dalam perang gerilya melawan penjajah. Pada tahun 1965, sebagaimana umumnya kiai NU, ia menolak tegas ideologi Komunisme.


Di bidang politik, ia aktif berkampanye untuk partai NU pada tahun 1955 dan 1971. Saat NU berfusi dengan Partai Persatuan Pembangunan, ia punt turut serta, tapi hanya di balik layar, tidak di struktur formal.


Dalam bidang pengembangan pendidikan, ia dinilai berjasa besar dalam mengembangkan berbagai madrasah di Kudus, seperti Madrasah Banat NU, Muallimat, Qudsiyyah, Tasywiq al-Thullab al-Salafiyah (TBS), dan Madrasah Diniyah Keradenan Kudus.


Selain itu, ia juga berperan dalam sebagai Penasihat Rumah Sakit Islam Yakis dan Mustasyar NU Cabang Kudus.


Karya Tulis 
Selain berdakwah, KH Sya'roni Ahmadi juga melanggengkan tradisi ulama melalui tulisan. Ia adalah seorang kiai yang sangat produktif, dengan banyak karya tulis yang saat ini masih dipelajari dan dikaji di pondok pesantren dan madrasah di sekitar Kudus. Beberapa karya beliau antara lain:

 
  1. Al-Faraid al-Saniyah wa al-Durar al-Bahiyah: Menjelaskan amalan-amalan Aswaja (Ahlussunnah wal Jama'ah) beserta dalil-dalilnya.
  2. Faid al-Asani ‘ala Hirz al-Amani wa Wajh al-Tahani: Kitab berbahasa Arab setebal 3 jilid yang membahas tentang qira’at sab’ah.
  3. Al-Qira’ah al-Asriyyah: Berjumlah 3 jilid, disusun untuk memudahkan para santri dalam mempelajari Kitab Kuning.
  4. Al-Tasrih al-Yasir fi ilmi al-Tafsir: Kitab tafsir dengan tebal 97 halaman.
  5. Terjemahan berbahasa Jawa atas Sullam al-Munawraq tentang ilmu mantiq (logika).
  6. Terjemah berbahasa Jawa Nazm al-Waraqat tentang Ilmu Ushul Fiqih.


Mengenal Kitab Faidhul Asani
Dalam kajian ulumul Qur'an terdapat satu fan ilmu yang berfokus pada cara membaca ragam bacaan, yaitu ilmu qiraat. Syekh Abdul Fattah Al-Aqadhi mendefinisikan ilmu qiraat sebagai ilmu untuk mengetahui cara pelafadzan kalimat-kalimat dalam membaca Al-Qur’an, mempraktikkan riwayat riwayat bacaan, baik dari segi kesamaan maupun perbedaan dalam setiap qiraat, serta menisbatkan setiap bacaan kepada imam dan rawi yang mengajarkannya. 


Urgensi dalam mempelajari ilmu qiraat adalah pertama, merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh mufasir yang ingin menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Kedua perbedaan hukum fiqih. Misalnya, membasuh atau mengusap pada saat berwudhu atau batas suci haid perempuan. Ketiga perbedaan lafal yang menyebabkan para mufasir berbeda dalam menyajikan makna isi kandungan Al-Qur’an. 


Contohnya pada Q.S. Al-Fatihah ayat 4 pada lafal ملك. Pada kata tersebut terdapat dua perbedaan bacaan. Imam Ashim dan Ali Kisai’ membaca isbat (menetapkan) alif, sedangkan Imam Nafi’, Ibnu Kasir, Abu Amr, Ibnu Amir dan Hamzah membaca hadf (membuang) alif. Kedua qiraat tersebut merupakan qiraat yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW berdasarkan riwayat-riwayat yang dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya (mutawatir). 


Dari segi makna bagi riwayat yang membaca isbat (menetapkan) alif bermakna orang yang memiliki. Maksudnya menekankan kepemilikan mutlak atas hari pembalasan beserta isinya. 


Sedangkan riwayat yang membaca hadf (membuang) alif mempunyai makna raja (menekankan kekuasaan). Dari segi makna al-malik lebih baik karena, setiap pemilik belum tentu seorang raja. Namun, dari segi bacaan al-maalik lebih utama karena ada tambahan satu huruf. 


Perbedaan dua bacaan bukan sebuah kontradiksi, melainkan menekankan bahwa Allah merupakan zat yang memiliki otoritas penuh kepada makhluknya pada hari kiamat. Selain itu, ilmu qiraat bisa memperkuat fungsi Al-Qur’an dalam memberikan petunjuk dan solusi untuk manusia dalam permasalahan kehidupan. Maka sangat penting untuk mempelajari ilmu qiraat bagi para mufasir Al-Qur’an.


Dalam sejarahnya, ulama yang paling masyhur dalam mendeklarasikan istilah qiraat sab'ah adalah Ibnu Mujahid dengan karyanya yaitu Kitab As-Sab'ah, tetapi ia hanya membatasi qiraat tujuh saja. Meski demikian, bukan berarti ia meninggalkan qiraat lainnya. 


Karya Ibnu Mujahid direspons dengan tulisan lain seperti kitab Al-Taysir karya Abu Amr al-Dani, ulama dari Andalusia. Kitab ini jadi acuan Imam Al-Syatiby, seorang ulama pakar qiraat dari Andalusia, tepatnya dari Xativa, sebuah kota dari provinsi Sevilla, Spanyol, yang menulis kitab dalam bentuk nadham yaitu Hirz al-Amani wa Wajh al-Tahani atau yang masyur dikenal dengan Nadham Syatibiyyah
 
 
Kitab Hirzul Al-Amani atau Nadham Syatibiyyah menjadi rujukan utama untuk mendalami ilmu qiraat. Bagi siapa pun yang ingin mendalami qiraat, pasti melalui kitab tersebut. Nadham Syatibiyyah ini membahas tentang ragam qiraat Al-Qur'an yang mutawatir yang diriwayatkan oleh para imam tujuh yaitu; Imam Nafi’, Imam Ibnu Katsir, Imam Abu ‘Amr, Imam Ibnu ‘Amir, Imam Ashim, Imam Hamzah dan Imam Ali Kisai. 


Pembahasan dalam Nadham Syatibiyyah sangat mudah untuk dipahami oleh para pengkaji ilmu qiraat karena penulisnya mampu mengubah kajian qiraat yang rumit menjadi bait-bait qasidah yang indah dengan menggunakan bahar thawil (salah satu notasi bait dalam syair bahasa Arab) dan seluruh baitnya ber-qafiyah (akhir sebuah qasidah) "la". Selain indah juga mudah untuk dihafalkan. 


Tak berhenti di situ, Imam Syatiby membuat sebuah rumus untuk memudahkan dalam mengidentifikasi antara imam qiraat dengan imam qiraat lainnya, seperti: Imam Ashim dengan dua perawinya yaitu Imam Syubah dan Imam Hafs disingkat dengan  نصع, untuk Imam Ibnu Kasir dan dengan dua perawinya yaitu Imam al-Bazzy dan Imam Qunbul disingkat dengan دهز dan seterusnya. 


Sampai sekarang, kitab ini menjadi rujukan inti dalam pembelajaran ilmu qiraat di seluruh belahan dunia. Di Indonesia, Nadham Syatibiyyah atau dikenal juga dengan Matan Syatiby juga dipergunakan sebagai pegangan inti untuk mempelajari ilmu qiraat. 


Dari kitab tersebut sepertinya lahir Kitab Faidhul Barokat ditulis oleh sang muqri' kabair Nusantara KH Arwani Amin kudus. Dari hasil kaderasi beliau lahir para ulama yang ahli qiraat di antaranya yaitu KH Nawawi Abdul Aziz Yogyakarta, KH Abdulah Salam Pati dan KH Sya'roni Ahmadi Kudus. 


Kiai Sya'roni merupakan murid dan sekaligus besan KH Arwani. Ia juga menulis dan mensyarahi Matan Syatiby. Kitab tersebut dinamakan Faidhul Asani 'ala Hirzil Amani wa wajhit Tahani.


Kitab tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan terdiri dari 3 jilid. Jilid 2 khusus menjelaskan tentang kaidah ushuliyah. Jilid 3 tentang kaidah farsiyyah. Penjelasan dalam kitab Faidhul Asani membuat bait-bait Syatibiyah menjadi ringkas dan jelas dan tentu mudah untuk dipahami.


Seperti contoh ketika Imam Syatiby dalam bait nadhamnya mengumpamakan orang yang suka membaca Al-Qur’an bagaikan buah jeruk.


وقارئه المرضي قر مثاله : كالاترج حليه مريحا وموكلا.


Artinya: orang yang membaca Al-Qur’an dan mengamalkannya maka ia bagaikan jeruk yang memiliki rasa manis dan beraroma harum. 


Kiai Sya'roni memberi penjelasan terhadap sifat orang yang membaca Al-Qur’an dengan mengutip hadits yang artinya: perumpamaan orang mukmin yang membaca Al-Qur’an bagaikan buah jeruk harum dan manis buahnya. Orang mukmin yang tidak membaca Al-Qu’ran seperti buah kurma tidak memilik harum buahnya, tetapi manis rasanya. Sementara orang munafik yang membaca Al-Qur’an bagaikan buah raihanah (bunga telasih) baunya harum tapi rasanya pahit. Lalu, orang munafik yang tidak membaca Al-Qur’an bagaikan buah hanzalah (pare gurun) tidak berbau dan pahit rasanya. HR. Al-Bukhari dan Muslim.


Ma’had Aly Yanbuul Qur’an 
Kajian ilmu qiraat di Indonesia akhir-akhir ini mulai berkembang. Namun, jika dihitung secara kuantitas, dibandingkan dengan keseluruhan jumlah santri Al-Qur’an di Indonesia, hanya sedikit yang minat untuk belajar qiraat. Di antara yang sedikit itu adalah Ma’had ‘Aly Yanbu’ul Qur’an. 


Kehadiran Ma’had Aly Yanbuul Qur’an sebagai lembaga tertinggi di pesantren menjadikan secercah harapan untuk menjaga dan merawat warisan intelektual para ulama terdahulu. Ma’had Aly Yanbu’ul Qur’an merupakan pendidikan pasca-tahfidh di bawah naungan Yayasan Arwaniyyah. Ma’had Aly Yanbu’ul Qur’an memiliki jurusan Ulumul Qur’an yang berkonsentrasi pada ilmu qiraat yang didirikan sebagai wujud komitmen dalam menjaga dan melestarikan karya pendirinya yaitu kitab Faidhul Barokat . 


KH Arwani Amin merupakan ulama yang ahli qiraat yang telah mempelajari Al-Qur’an dengan qira’at sab’ah hingga selesai tiga puluh juz secara talaqqi musyafahah di hadapan Kiai Munawwir. Maka itu, kitab yang digunakan pada kajian atau mata kuliah ilmu qiraat tahtbiqy/amali (praktik/musyahafah) pada pembelajaran di Ma’had Aly Yanbuul Qur’an menggunakan kitab Faidhul Barokat karya KH Arwani Amin dan kitab Faidhul Asani karya KH Sya’roni Ahmadi sebagai mata kuliah Qira'at Nadhary (teori) wajib di Ma’had Aly Yanbuul Qur'an. 


Selain ada tambahan referensi kitab lain seperti Alwafi fi Syarhi Syatibiyyah, Durrah dan Thoyyibah. Kitab Hirzu Al-Amani atau Faidul Asani dipelajari mulai semester satu sampai semester enam dengan metode bandongan (guru membaca santri menulis). 


Bisri Mustofa, mahasantri Ma’had Aly Yanbuul Qur’an Kudus