Kiai Moh Ashiem Ilyas Pencipta Lambang Pesantren Tebuireng Jombang
Senin, 20 Februari 2023 | 12:45 WIB
KH Moh Ashiem bin Muhammad Ilyas bin KH Muhammad Asy-Syarqawi pencipta lambang Pesantren Tebuireng, Jombang. (Foto: dok istimewa)
Selain Pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan, Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur, menjadi episentrum peradaban Islam di Indonesia. Banyak alumninya berkiprah di Nahdlatul Ulama (NU), merintis dan membesarkan pesantren leluhur mereka.
Di antara ribuan 'produk' Tebuireng yang dikenang kaum sarungan adalah KH Moh Ashiem bin Muhammad Ilyas bin KH Muhammad Asy-Syarqawi bin R Sudikromo bin R Mertowijoyo bin R Tirto Kusumo bin R Aryo Hiring bin R Aryo Penjangkringan bin Pangeran Krapyak Dipokusumo bin Pangeran Krapyak Yudo Bongso bin Panembahan Kuleco Sumotruno bin Panembahan Mekaos Hunggo Kusumo bin Kanjeng Sinuhun Ja'far Shadiq (Sunan Kudus).
Nama Kiai Ashiem, lahir 29 Desember 1927, harum di mata masyayikh dan alumni, karena ia satu-satunya santri yang menciptakan atau membuat lambang Pesantren Tebuireng. Bahkan menurut Majalah Tebuireng tempo dulu, cucu muassis Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk ini dipercaya mencucikan pakaian Hadratussyekh KH M Hasyim Asy’ari.
Dikatakan oleh putri sulung Kiai Ashiem, Nyai Hj Fathimah Al-Batoul, ayahnya pertama kali nyantri pada tahun 1936 (usia 9 tahun) dan hanya bermukim selama 40 hari. Orang yang mengantarkannya ke pesantren adalah kakaknya, yakni KH M Khazin Ilyas. Berhubung kakaknya tidak kerasan, ia pun ikut keluar dari pesantren.
Diketahui, dalam fragmen yang dikupas oleh Tebuireng Online, ada beberapa kesamaan dengan yang diceritakan Ny Fathimah Al-Batoul. Pada tahun 1940, Kiai Ashiem muda kembali ke Tebuireng. Namun hanya 1 bulan lantaran Amsterdam dan Jerman berperang (Perang Dunia Kedua), sehingga membuat santri gelisah.
Di masa pendudukan Jepang (tahun 1943), Kiai Ashiem kembali lagi ke Tebuireng dan akhirnya menetap sampai tahun 1946. Di saat itulah Kiai Ashiem muda menekadkan diri masuk dalam barisan Hizbullah untuk maju ke medan perang bersama para kiai dan santri.
Sebagaimana coretan sejarah kemerdekaan, terdapat faktor spiritual yang membuat kaum santri berhasil mengusir penjajah, yakni santri dibekali ilmu kemiliteran sebelum terjun ke medan perang. Setelah dinyatakan matang oleh pelatih, notabene para laskar diijazahi hizib dan doa. Salah satu kiai yang pernah mengijazahi para laskar adalah KH Abdul Wahab Chasbullah.
Gus Moh Wail Al-Wajieh, salah satu cucu dari Kiai Ashiem menyatakan bahwa kakeknya menguasai bahasa asing guna memahami percakapan para penjajah, seperti bahasa Inggris, Jepang, Belanda, Portugis, dan Prancis. Kecakapannya itu dibuktikan dengan memberi nama putri kedelapannya dengan nama yang biasanya dipakai warga negara Prancis, yaitu Grace Faycha.
Kiai Ashiem melepas masa lajangnya dengan menikahi putri Syekh Ali Ar-Rahbini (keturunan Mesir), pengasuh Yayasan Sosial dan Pendidikan Islam Syekh Ali Al-Rahbini (Yasira) Gondanglegi, Malang. Dari hasil pernikahananya dengan Nyai Maysaroh, lahirlah Fathimah Al-Batoul, Ach Naufal, Waznah Al-Asoul, Afaf Al-Atouf, Maryam Al-Hanun, Mohammad Ilyas (wafat saat bayi), Lubna An-Najoud, Grace Faycha, Rabi'ah Al-Adawiyah.
Sebelum kembali ke tanah kelahirannya di Guluk-Guluk, ia tinggal di Mayang, Jember bersama putra-putrinya. Di sana Kiai Ashiem mendirikan Pesantren Tanjung Emas. Setibanya di Annuqayah, ia lalu mendirikan pesantren daerah yang diberi nama Al-Anwar Kebun Jeruk.
Selain menjadi pengasuh pesantren daerah, ia juga mengajar di Madrasah Aliyah (MA) Annuqayah bersama saudara kandungnya. Bahkan Kiai Ashiem diamanahi sebagai Rektor Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Annuqayah (STISA) sejak tahun 1986-1997 (kini beralih nama menjadi Instika). Pada Senin 27 Dzul Hijjah 1417 bertepatan 5 Mei 1997, Kiai Ashiem wafat saat melaksanakan shalat Maghrib.
Asal mula lambang Tebuireng
Diceritakan Ny Fathimah Al-Batoul, sebelum ayahnya membuat lambang Tebuireng, Kiai Ashiem muda memenangkan sayembara yang dihelat oleh perusahaan Susu Cap Nona. Ia mendapat hadiah 1 upeti susu, yang kemudian dijual hingga laku Rp265.
Dari hasil penjualannya, ia berangkat ke Surabaya dengan menaiki bus Lestari. Kala itu ongkos transportasinya Rp2,5 (pulang pergi Rp5). Sesampainya di Surabaya, ia membeli bolpoin pelikan (berlogo angsa) Rp260 (tanggal pembelian pena, 27 November 1953 tertera di bolpoin Kiai Ashiem).
Lewat perantara ujung bolpoin yang terdapat emas 14 karat itu, Kiai Ashiem mencorat-coret dan merancang lambang Tebuireng tanpa adanya perintah dari kiai. Kebetulan kala itu Pesantren Tebuireng belum memiliki lambang.
Gambar lambang dan arti dari setiap komponen berwarna hijau dan bertuliskan Arab. Adapun cetakan pertama penggunaan logo itu, dipakai pada kartu pos Tebuireng. Di balik kartu tersebut terdapat keterangan surat pemberitahuan (Model CK).
Kemahiran Kiai Ashiem dalam menggambar dan menulis, Ny Fathimah Al-Batoul menyaksikannya di masa kanak-kanak. Saat tinggal di Mayang, ayahnya suka mengajari anak-anaknya menulis Arab. Di saat tinta bolpoin habis, beliau memberikan bolpoin yang ia gunakan untuk membuat lambang Tebuireng. Kala itu sang ayah memberikannya di saat malam hari yang kondisinya gelap (belum ada listrik).
Folisofi lambang Tebuireng
Lambang Tebuireng yang dibuat oleh Kiai Ashiem, memiliki 5 komponen dan filosofi tersendiri yaitu
- Bingkai segi tiga adalah Al-Tsabat. Maknanya, teguh dan kokoh yang diberikan untuk seorang laki-laki
- Garis vertikal adalah Al-Istiqamah. Maknanya, sikap teguh pendirian dan selalu konsisten
- Bintang adalah Al-Himmah. Maksudnya, orang yang memiliki kemauan kuat untuk melakukan sesuatu dalam rangka meraih sesuatu yang dicita-citakan
- Dua sayap adalah Al-Nasyath wa Al-Tayaquzh
- Lingkaran adalah non afiliasi. Artinya, pesantren Tebuireng bebas campur tangan dengan urusan politik. Politik yang dimaksud adalah kemelut Masyumi dan Nahdlatul Ulama.
Firdausi, Kontributor NU Online tinggal di Sumenep Jawa Timur.