Tokoh

Mengenal Aisyah al-Hanbaliyah, Ulama Perempuan Multidisipliner

Ahad, 29 September 2024 | 14:00 WIB

Mengenal Aisyah al-Hanbaliyah, Ulama Perempuan Multidisipliner

Foto ilustrasi perempuan membaca Al-Qur'an. (Foto: NU Online/Freepik)

Nama lengkapnya adalah Aisyah binti Ali bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abu al-Fatah bin Hasyim bin Isma’il bin Ibrahim. Biasa disebut dengan panggilan Ummu Abdullah atau Ummu al-Fadl al-Kinani al-Qahiriyah al-Hanbaliyah. Ia lahir pada tahun 761 H di Kairo, Mesir dari keluarga ulama. 


Syamsuddin as-Sakhawi dalam kitab al-Dha’u al-Lâmi’ li Ahli al-Qarn al-Tâsi’ menyebutkan beberapa guru Aisyah al-Hanbaliyah. Guru pertamanya adalah kakeknya dari pihak ibu, yaitu Muhammad al-Qalanisi. Pada kakeknya ia mempelajari kitab hadits al-Fawâid al-Ghaylâniyât karya Abu Bakar asy-Syafi’i (w. 354 H). Tidak puas belajar hanya pada kakeknya, ia mempelajari bagian awal kitab Fawâid karya Ibnu Basyran yang di dalamnya terdapat sebagian isi Musnad asy-Syâfi’i pada al-‘Izz bin Jama’ah (w. 767 H) dan Muwaffiquddin al-Hanbali. Ia juga menghadiri majlis al-Harawi untuk mempelajari kitab Fadl al-Khail karya al-Hafidz ad-Dimyati. (Beirut: Dar al-Jil, 1992, juz 12, hal. 78).


Kegemarannya menuntut ilmu seakan tidak pernah terpuaskan. Ia mendatangi satu guru ke guru lainnya sampai ia berhasil mendapatkan ijazah dari seorang ahli hadits, ahli nahwu, ahli ushul fiqih, ahli mantiq dan ahli fiqih Mazhab Hanbali bernama Ibnu Qadhi al-Jabali (w. 771 H). Ia juga menerima banyak ijazah dari ulama-ulama Syam dan Mesir. Tidak puas hanya menguasai ilmu hadits, nahwu, dan fiqih, Aisyah al-Hanbaliyah mendalami ilmu qiraat dan kaligrafi (khat). (juz 12, hal. 78).

ADVERTISEMENT BY OPTAD


Sementara Muhammad Khair Ramadhan Yusuf dalam al-Muallâfat min al-Nisâ’ wa Muallafâtihinna fî al-Târîkh al-Islâmî menyebut Aisyah al-Hanbaliyah memiliki tulisan yang indah. Keindahan khatnya diakui oleh banyak orang, begitu juga kealimannya. Ibnu Hajar al-‘Asqalani mengatakan bahwa Aisyah adalah wanita yang baik, memiliki banyak murid/santri di masa-masa akhir hidupnya, dan ia memiliki tulisan tangan (khat) yang sangat indah. (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2000, hal 67).


Pendapat yang tidak jauh berbeda juga disampaikan oleh al-Maqrizi. Ia mengatakan:


كَانَت امْرَأَة خيرة صَالِحَة تكْتب كِتَابَة حَسَنَة وَلها فهم مليح


Artinya: “(Aisyah al-Hanbaliyah) merupakan wanita yang baik dan salehah. Tulisannya indah, dan memiliki pemahaman yang baik.” (Syamsuddin as-Sakhawi, juz 12, hal. 78).

ADVERTISEMENT BY OPTAD


Menurut Syamsuddin as-Sakhawi, Aisyah al-Hanbaliyah memahami betul Sirah Nabawiyah dan hampir mengingat seluruh detail peperangan yang dijalani Nabi. Ia juga hafal sebagian besar isi kitab al-Fawâid al-Ghaylâniyât, dan kitab-kitab hadits lainnya. Tidak hanya itu, banyak puisi dan syair Arab yang dihafalnya juga, terutama Diwân al-Bahâ’ Zuhair karya Bahauddin Zuhair bin Muhammad (w. 656 H), seorang penyair dari era Daulah Ayyubiyah. Hal itu dapat disimpulkan dari catatannya langsung (tulisan tangan) yang dilihat oleh Syamsuddin as-Sakhawi. (Syamsuddin as-Sakhawi, juz 12, hal. 78).


Minatnya terhadap puisi atau syair Arab sangat luar biasa. Aisyah al-Hanbaliyah menggemarinya secara mendalam, sehingga mudah sekali ia menghafalnya (sarî’atil hifdhi). Ia berkata:


حفظت خمس أَبْيَات مواليا بِعشْرين قرينَة من مرّة وَاحِدَة


Artinya: “Aku menghafal lima bait mawali (jenis syair Arab ‘ammiyah atau semi fushah) dengan dua puluh qarinah dalam satu waktu.” (Syamsuddin asy-Sakhawi, juz 12, hal. 78).


Hal ini menunjukkan bahwa Aisyah al-Hanbaliyah memiliki kecerdasan di atas rata-rata dan gairah belajar yang tinggi. Ia tidak puas hanya menguasai satu cabang ilmu. Semua ilmu yang tersedia saat itu, ia pelajari dengan serius. Kecintaannya pada ilmu, menjadikannya orang terpelajar dan menjadi ulama yang menguasai multidisiplin pengetahuan. Karena itu, murid-muridnya tidak hanya dari pelajar pemula, tapi juga para imam dan ulama (sami’a ‘alaihâ al-a’immah).


Dalam tulisan as-Sakhawi, Aisyah al-Hanbaliyyah berhasil menggabungkan privilese latar belakang keulamaanya (min baiti ‘ilmin wa riwâyah) dengan ketekunan memperkuat agama melalui ilmu, memperbanyak ibadah dan kebajikan yang menyeluruh. Dalam menggambarkannya, as-Sakhawi mengatakan:


قَلَّ أَن ترى الْعُيُون فِي النِّسَاء مثلهَا


Artinya: “Jarang sekali mata melihat wanita sepertinya.” (Syamsuddin as-Sakhawi, juz 12, hal. 78).


Aisyah al-Hanbaliyah menunaikan ibadah haji dan mengunjungi Baitul Maqdis bersama anaknya lebih dari satu kali. Di Baitul Maqdis (Yerussalem) ia menyampaikan hadits dan mengajarkannya. Banyak orang-orang ternama di wilayah itu belajar kepadanya saat ia berada di sana. (Muhammad Khair Ramadhan Yusuf, hal 67).


Kepakarannya dalam berbagai bidang ilmu, membuatnya menjadi tujuan belajar orang-orang di masanya. Salah satu orang yang bersentuhan langsung dengannya adalah Burhanuddin Ibrahim al-Biqa’i (w. 885 H). Ia memuji Aisyah al-Hanbaliyah dengan sangat tinggi. Burhanuddin al-Biqa’i mengatakan bahwa Aisyah al-Hanbaliyyah adalah wanita yang sangat cerdas dalam memahami kitab-kitab fiqih, hafal banyak puisi di antaranya Diwân al-Bahâ’ Zuhair dan Mashâdir al-‘Usysyâq, dan hafal kitab al-Sîrah al-Nabawiyyah karya Ibnu Furat. Aisyah adalah perempuan yang saleh dari mulai masa muda sampai wafatnya; gemar beribadah dan berzikir. Ia tidak menikah lagi setelah kematian suaminya, al-Qadhi Burhanuddin. (Syamsuddin as-Sakhawi, juz 12, hal. 78-79).


Aisyah al-Hanbaliyah meninggalkan warisan luar biasa. Ia mencetak banyak murid-murid hebat. Ia juga membuktikan bahwa siapapun bisa menjadi ulama besar dengan ketekunan, kecintaan dan usaha pantang menyerah. Ia tidak pernah puas dengan pengetahuan yang dimilikinya dan terus berusaha meng-upgrade diri dengan pengetahuan-pengetahuan baru. Maka pantaslah jika Aisyah al-Hanbaliyah disebut sebagai ulama multidisipliner. 


Menurut al-Biqa’i, Aisyah al-Hanbaliyah wafat pada Rabu siang tanggal 16 Dzulqa’dah, dan dimakamkan keesokan harinya. Ia merupakan ashab (murid) terakhir dari kakeknya yang mendengar riwayat secara langsung (bi al-simâ’). (Syamsuddin as-Sakhawi, juz 12, hal. 79).


Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.