Muslimat NU genap berusia 76 tahun, pada 29 Maret 2022. Sejarah perjalanannya sebagai organisasi perempuan NU ini tidak bisa lepas dari kiprah dan kontribusi Nyai R Djuaesih. Ia menjadi salah satu tokoh perintis berdirinya Muslimat NU. Nyai Djuaesih ini merupakan perempuan pertama yang naik ke mimbar resmi organisasi NU, dalam Muktamar Ke-13 NU di Menes, Banten, pada 1938.
Dalam forum Muktamar NU di Menes, Banten itu, Nyai Djuaesih dengan tegas menyampaikan tentang pentingnya pendidikan bagi perempuan. Ia juga menyerukan agar kaum perempuan harus bangkit menyuarakan keinginan perempuan.
“Di dalam agama Islam, bukan saja kaum laki-laki yang harus dididik mengenai pengetahuan agama dan pengetahuan lain. Kaum wanita juga wajib mendapatkan didikan yang selaras dengan kehendak dan tuntutan agama. Karena itu, kaum wanita yang tergabung dalam Nahdlatul Ulama mesti bangkit,” demikian seruan Nyai R Djuaesih di forum permusyawaratan tertinggi NU itu.
Berita Nahdlatoel Oelama pun membuat laporan tentang keberanian Nyai Djuaesih yang naik ke mimbar di dalam Muktamar NU itu. Peristiwa itu diabadikan di dalam Berita Nahdlatoel Oelama Nomor 6 tahun ke-10 edisi 19 Januari 1941 halaman 4/86.
“Kemudian dari pada itu, tampillah ke muka, Nyai Djuaesih, voorzitter (ketua) Muslimat NU Bandung yang telah memerlukan datang di kongres ini, berhubung kecintaan dan tertarik beliau kepadanya. Dengan panjang lebar menerangkan akan asas dan tujuan dari NU adalah suatu perkumpulan yang sengaja mendidik umat Islam ke jurusan agamanya dengan seluas-luasnya. Di dalam agama Islam bukan saja kaum laki-laki yang harus dididik tentang soal-soal yang berkenaan dengan agamanya, bahkan kaum perempuan juga harus mendapat didikan yang selaras dengan kehendak dan tuntunan agama, sebagaimana lakinya. Inilah nantinya yang akan dapat membawa keamanan dunia dan akhirat,” begitu bunyi laporan Berita Nahdlatoel Oelama itu.
Nyai Djuaesih lahir pada Juni 1901 di Sukabumi. Ia tidak mengikuti pendidikan formal dan hanya belajar kepada orang tuanya, yakni R.O. Abbas dan R. Omara S. yang membekalinya dengan ilmu agama. Nyai Djuaesih memiliki kemampuan alamiah sebagai mubalighah dan cukup terkenal di Jawa Barat. Ia sering memberikan ceramah agama bagi ibu-ibu di berbagai pelosok Jawa Barat seperti di Pandeglang, Tasikmalaya, Sukabumi, Ciamis, dan Bekasi. (Ensiklopedia NU Jilid 4, 2014: 32).
Persentuhan Nyai Djuaesih dengan NU muncul setelah menikah dengan Danuatmadja alias H Bustomi, seorang pengurus NU Jawa Barat. Dalam berbagai acara organisasi, Nyai Djuaesih kerap menyertai suaminya. Ia pun merasa bahwa NU perlu mengorganisasi para perempuannya agar bisa ikut bersama-sama berdakwah.
Nyai Djuaesih mempunyai sumbangan besar dalam gerakan perempuan di lingkungan NU dengan gagasannya mendirikan organisasi khusus bagi kaum hawa di NU. Menurutnya, NU mempunyai kewajiban untuk berdakwah menyebarkan ajaran Islam dan bukan hanya tanggung jawab kaum pria. Karena itu, ia mengusulkan agar perempuan NU dapat menjadi anggota dan aktif serta memiliki wadah organisasi sendiri.
Namun, meski menjadi salah satu perintis organisasi perempuan NU, Nyai Djuaesih tidak menduduki jabatan tertentu pada kepengurusan pertama Muslimat NU Jawa Barat. Barulah pada periode 1950-1952, Nyai Djuaesih menjabat sebagai Ketua Muslimat NU.
Penulis: Aru Lego Triono
Editor: Fathoni Ahmad