KH Abdul Latif
Sampai muktamar ketiga di Surabaya, tahun 1928, hanya beberapa kiai dari Jawa Barat dan Banten yang hadir. Di antaranya KH Abdurrahman Menes, Banten, KH Muhyi Bogor, KH Abdullah Cirebon, dan KH Abdul Halim Leuwimunding, Majalengka. Namun, kiai yang disebut terakhir itu memang waktu itu beraktivitas di Surabaya sebagaimana KH Idris Kamali asal Cirebon yang hadir di Muktamar kedua di kota yang sama. Waktu itu Kiai Idris tidak beraktivitas dari kota asalnya, melainkan di Jombang, karena ia adalah menantu Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari.
Barulah pada muktamar keempat di Semarang, tahun 1929 kiai dari Jawa Barat bertambah. Selain yang disebutkan sebelumnya, kecuali KH Muhyi Bogor, hadir di antaranya KH Ahmad Dimyati Sukamiskin Bandung, KH Abdullah Kuningan, KH Abdullah Indramayu, Penghulu Junaidi Batavia, Guru Manshur Batavia (Jakarta), KH Abdul Aziz Cilegon (Banten), Abdul Khair Cirebon, KH Dasuqi Majalengka dan Syekh Ali Thayib yang mewakili Tasikmalaya.
Kiai yang disebut terakhir itu sebetulnya bukan asli dari Tasikmalaya. Ia adalah seorang ulama Timur Tengah yang sedang menyebarkan tarekat Tijaniayah, yang kebetulan di Tasikmalaya. Ia tinggal di kampung salah seorang pendiri NU Tasikmalaya, KH A. Qulyubi (Ajengan Unung) yang dikabarkan pengamal tarekat yang sama. Menurut Choirul Anam dalam buku Pertumbuhan dan Perkembangan NU, sejak muktamar keempat itu, ada sekitar 13 Cabang di Jawa Barat. Perlu diketahui, dalam administrasi pemerintahan Hindia Belanda, waktu itu Provinsi Jawa Barat mencakup wilayah Jawa Barat sekarang, Provinsi Banten sekarang, dan DKI Jakarta.
Ada lagi satu yang hadir dari Banten. Namanya KH Abdul Latif dari Cibeber, yakni pengasuh pondok Pesantern Jauharotun Naqiyah pada waktu itu.
KH Abdul Latif lahir pada tahun 1878 M atau bertepatan tahun 1299 H ini. Ia berasal dari turunan ulama pejuang. Ayahandanya, KH Muhammad Ali adalah ulama yang juga pejuang melawan Belanda. Kakeknya, KH Said juga adalah ulama terpandang dan terkenal karena karomahnya.
Sewaktu kecil ia tinggal di rumah orang tuanya di kampung Pakisaji Kelurahan Bulakan, Kecamatan Cibeber. Dalam usia kanak-kanak tersebut dalam diri dia telah tertanam jiwa Kiai Haji Muhammad Ali, jiwa seorang pejuang kemerdekaan.
Dikisahkan bahwa Kiai Haji Muhammad Ali adalah salah seorang pejuang kemerdekaan pada perang Geger Cilegon. Dalam peperangan melawan kompeni Belanda tersebut KH Muhammad Ali tertangkap kompeni Balanda dan diasingkan ke Dagul dan selanjutnya dibuang ke Ambon, tepatnya di Bontaen. Ia wafat di sana pada tahun 1898 dan dimakamkan di Ambon di Puncak Ali.
Beberapa karya tulis KH Abdul Latif di antaranya adalah
1. Taudlikul Ahkam,
2. Irsyadul Anam,
3. Bayaanul Arkaan,
4. Adaabul Marah,
5. Tauqil Tauhid,
6. Kifaayatul Sibyaan,
7. Mu’aawnatullkhwan,
8. Matanus Sanusiyyah,
9. Siirah Sayyidil Mursalin,
10. Munabbihaat,
11. Manaqib Syeikh Abdul Qodir Jaelani,
12. Sejarah Banten,
13. Tajwid Jawa (bahasa jawa Banten),
14. Ma’waadzul ‘Ushfuryah,
15. Tafsir Surat Yaasin (bahasa Jawa Banten)
16. Tafsir surat Juz ’Amma (bahasa Jawa Banten),
17. Tafsir Surat Alif Lam Tanziil (bahasa Jawa Banten), 18. Tafsir Surat Al Baqarah (bahasa Jawa Banten).
Penulis: Abdullah Alawi
Editor: Fathoni Ahmad