Tokoh

Riwayat KH Muhammad Masthuro dan Wasiatnya

Senin, 31 Desember 2018 | 07:00 WIB

Ajengan KH Muhammad Masthuro adalah pendiri Pondok Pesantren Al-Masthuriyyah, Babakan Tipar, Cisaat, Sukabumi, Jawa Barat. Ia lahir di Kampung Cikaroya, Tipar, Sukabumi pada tahun 1901. 

Masa kanak-kanak Masthuro belajar kepada ayahnya bernama Kamsol, seorang amil atau lebe yang bertugas mengurusi masalah keagamaan di desa. Kemudian ia berguru kepada kiai-kiai di Sukabumi diantaranya: H. Asy’ari (dari tahun 1909 sampai 1911) K.H. Katobi (dari 1911 sampai 1914) KH Hasan Basri (tahun 1914 sampai 1915) K.H. Muhammad Kurdi (tahun 1914 sampai 1915), K.H. Ghazali (dari 1915-1916) K.H. Muhammad Sidiq (tahun 1916-1916) KH Ahmad Sanusi (tahun 1918 sampai 1920).

Kemudian ia belajar kepada Habib Syekh bin Salim Al Atthas, guru para ajengan Sukabumi. KH Masthuro merupakan santrinya yang paling disayang, sehingga sebelum wafat, Habib Syekh berpesan supaya dikebumikan di samping KH Masthuro. Kedua ulama tersebut dimakamkan berdampingan di Pesantren Al-Masthuriyah.

KH Masthuro memiliki 13 putra dan putri. Salah seorang putranya, almarhum KH E. Fachrudin Masthuro, pernah menjabat Wakil Rais ‘Aam PBNU, hingga wafatnya menjadi salah seorang Mustasyar PBNU. 

Sebagai seorang yang hidup di masa penjajahan Belanda, KH Masthuro memperlihatkan keberaniannya. Ia melindungi para pejuang dan rakyat Indonesia. Sering penjajah memeriksa pesantrennya, tetapi KH Masthuro tidak menyerahkan mereka yang meminta perlindungan itu, sekalipun penjajah menodongkan senjata kepadanya.

Sebelum wafat, KH Masthuro mewasiatkan 6 hal kepada anak-anak dan mantu-mantunya, yaitu:

1. Kudu ngahiji dina ngamajukeun pesantren, madrasah. Ulah pagirang-girang tampian. (harus bersatu untuk kemajuan pesantren)
2. Ulah hasud (jangan hasud)
3. Kudu nutupan kaaeban batur (harus menutupi aib orang lain)
4. Kudu silih pika nyaah, (saling mengasihi)
5. Kudu boga karep sarerea hayang mere (suka memberi)
6. Kudu mapay tarekat anu geus dijalankeun ku Abah (harus mengikuti tarekat KH Masthuro)

Wasiat tersebut, hingga kini menjadi pegangan keturunan dan penerus KH Masthuro di pesantren Al-Masthuriyah. Terutama yang poin pertama, dalam keberlangsungan lembaga pendidikan memiliki makna penting untuk menanamkan dan memperkuat lembaga yang dirintisnya. Wasiat ini diungkapkan dengan jelas agar para pewaris perjuangan KH Masthuro tidak sulit menafsirkan maknanya.

Hampir seluruh putra-putri KH Masthuro tinggal di kompleks pesantren tersebut untuk turut serta mengembangkan Al-Masthuriyah. Hanya sekitar 20% cucunya yang tidak tinggal di pesantren yang kini sudah lengkap mulai dari PAUD hingga perguruan tinggi.. 

KH Masthuro mengarang kitab berjudul Kaifiyatus Shalat, tebal 89 halaman, yang ditulis dengan bahasa Arab yang mudah dipahami. Kitab ini merupakan tukilan dari berbagai kitab yang membahas bab shalat, mulai dari Safinatun Naja, Sulam Munajat, Fathul Qorib, Fathul Mu’in, tapi lebih banyak dari kitab Bajuri. (Abdullah Alawi)




Terkait