Tokoh

Syekh Ahmad Khatib Sambas Mempertemukan Dua Tarekat

Jumat, 30 November 2018 | 00:00 WIB

Ahmad Khatib Sambas dilahirkan di daerah Kampung Asam, Sambas, Kalimantan Barat. Tanggal lahirnya tidak diketahui, tapi sebagian sumber menyebutkan pada bulan shafar 1217 H bertepatan dengan tahun 1803 M. Ayahnya Abdul Ghaffar bin Abdullah bin Muhammad bin Jalaluddin. 

Masa kecil, Ahmad khatib Sambas diasuh pamannya yang terkenal sangat alim dan wara’ di wilayah tersebut. Ahmad Khatib Sambas menghabiskan masa remajanya untuk mempelajari ilmu-ilmu agama, ia berguru dari satu guru-ke guru lainnya di wilayah kesultanan Sambas. Salah satu gurunya yang terkenal di wilayah tersebut adalah, H. Nuruddin Musthafa, Imam Masjid Jami’ Kesultanan Sambas.

Kemudian ia meneruskan pendidikannya ke Timur Tengah, khususnya ke Makkah. Kemudian memutuskan untuk menetap di Makkah sampai wafat pada tahun 1875 M. Di sana ia berguru di antaranya kepada Syekh Daud bin Abdullah Al-Fathani  yang dikenal sebagai guru besar Tarekat Syatariyah. 

Kemudian ia berguru juga kepada Syekh Syamsuddin, guru besar Tarekat Qadiriyah. Sedangkan kepada Syekh Sulaiman Effendi, guru besar Tarekat Naqsyabandiyah yang berpusat di Jabal Abu Qubais. 

Selain yang disebutkan di atas, terdapat juga sejumlah nama yang juga menjadi guru-guru Khatib Sambas, seperti Syaikh Muhammad Salih Rays, seorang mufti bermadzhab Syafi’i, Syeikh Umar bin Abd al-Rasul al-Attar, juga mufti bermadzhab Syafi’I (w. 1249 H/833/4 M), dan Syeikh ‘Abd al-Hafiz ‘Ajami (w. 1235 H/1819/20 M).

Ia juga menghadiri pelajaran yang diberikan oleh Syeikh Bisri al-Jabarti, Sayyid Ahmad Marzuki, seorang mufti bermadzhab Maliki, Abd Allah (Ibnu Muhammad) al-Mirghani (w 1273 H/1856/7 M), seorang mufti bermadzhab Hanafi serta Usman ibn Hasan al-Dimyati (w 1849 M). 

Pendiri Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN)
Dalam bidang tarekat, ia menggabungkan kedua tarekat yang didapat dari gurunya yang mengajarkan Qodiriyah dan Naqsyabandiyah. Kemudian dikenal dengan Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN). 

Semasa hidupnya, Syekh Ahmad Khatib Sambas mengangkat banyak khalifah (wakil), namun posisi pewaris utamanya setelah beliau meninggal dipegang oleh Syekh Abdul Karim Banten.  Dua wakil penting lainnya adalah Syekh Thalhah Kalisapu Cirebon dan Syekh Ahmad Hasbullah Ibn Muhammad Madura. 

Pada awalnya semuanya mengakui otoritas Syekh Abdul Karim, namun setelah Syekh Abdul Karim meninggal, tidak ada lagi kepemimpinan pusat, dan karenanya TQN menjadi terbagi dengan otoritas sendiri-sendiri.

Syekh Thalhah mengembangkan kemursyidan sendiri di Jawa Barat. Penerusnya yang paling penting adalah Syekh Abdullah Mubarrok Ibn Nur Muhammad atau “Abah Sepuh” dari Suryalaya (Tasikmalaya) yang dilanjutkan putranya yaitu Syekh Ahmad Shohibul Wafa’ Taj Al-Arifin yang dikenal Abah Anom. Khalifah lain di Jawa Barat adalah KH Tubagus Abdullah Falak atau yang dikenal Abah Falak di daerah Pagentongan, Bogor. 

Di Jawa Tengah adalah KH Muslih Abdurrahman (Mbah Muslih), yang menerima ijazah TQN dari KH Ibrahim al-Brumbungi, seorang khalifah dari Syekh Abdul Karim, melalui Mbah Abd Rahman Menur.

Sedangkan di Jawa Timur TQN berkembang pesat di Rejoso Jombang, melalui jalur Syekh Ahmad Hasbullah Madura, terutama di pesantren yang didirikan KH Romli Tamim, dan kemudian diteruskan KH Musta’in Romly yang sempat menjadi Ketua Jam’iyyah Ahli Thoriqoh al-Mu’tabaroh al-Nahdliyyah (JATMAN). 

Ia juga dikenal sebagai cendekiawan ulung terutama di bidang ilmu agama, seperti Qur’an, hadits, fiqih, kalam, dan, tentu saja, tasawuf. Ia tidak meninggalkan banyak karya tulis. Cuma satu kitab yang disandarkan kepadanya Fathul Arifin. Kitab tersebut didiktekan dan ditulis oleh salah seorang muridnya, Muhammad Ismail bin Abdurrahim Al-Bali. Kitab yang yang  selesai ditulis 1872 tersebut berisi ajaran dalam TQN. (Abdullah Alawi)


Terkait