Jakarta, NU Online
“Tolong teruskan bahwa di NU itu ada sastrawan. Tapi sastrawan yang yang diperhitungkan,” tegas sastrawan kondang penulis novel Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari.
Tohari menyampaikan hal itu dalam hajatan sastrawan dan budayawan bertajuk “Menggerakkan Tradisi” di kantor redaksi NU Online, gedung PBNU, Jakrta, Rabu, (28/3). Hajatan itu dalam rangka peringatan hari lahir ke-50 Lembaga seniman budayawan muslimin Indonesia (Lesbumi) NU, yang didirikan tahun 1962. <>
Kang Tohari melanjutkan, dakwah dengan novel itu sangat efektif, ”saya menulis Ronggeng Dukuh Paruk oleh Ahmad Tohari, itu saja sudah dakwah kemana-mana. Dan orang tahu bahwa saya orang NU. Dan itu menurut saya penting.” ujarnya.
“Jejak Pak Zawawi, Gus Mus, Kang Acep, saya, harus diteruskan. Mereka itu pada saatnya pasti meninggal. Jadi, jejak mereka harus diteruskan,” tukasnya.
Menurut Tohari, jika ditelisik lebih dalam, kepengarangan seseorang itu didorong oleh keimanan pengarang sendiri.
”Mungkin Anda bertanya, buat apa sih saya repot-repot jadi pengarang, maunya apa? Apa yang mau dicapai oleh kepengarangan saya? Duit? Bukan! Walaupun duit juga perlu. Kepengarangan saya didorong keimanan saya,” tegasnya.
Ketika wahyu pertama adalah perintah membaca, sambung Tohari, membaca apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi.
Pernyataan Tohari diperkuat oleh Wasekjen PBNU Abdul Mun’im DZ. Ia menegaskan bahwa sastrawan NU harus sungguh-sungguh seperti Ahmad Tohari, “Meskipun tidak banyak, tapi harus serius. Itu akan abadi. Karya-karya Ahmad Tohari akan diingat orang kapan pun,” ujarnya.
Hadir pada hajatan itu, H. Masduki baidlawi, Prof Machasin, dan sekira 20-an seniman dan budayawan NU dari berbagai daerah.
Redaktur: Mukafi Niam
Penulis : Abdullah Alawi