Jakarta, NU Online
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Sarwono Kusumaatmadja, mengatakan amendemen kelima UUD 1945 harus bebas dari kompromi politik karena akan mengurangi porsi aspirasi rakyat.
"Kita tidak ingin konstitusi kita terbentuk semata karena kompromi-kompromi politik di tingkat elit," ungkap Sarwono dalam temu wicara Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Fungsionaris Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Jakarta, Jumat (6/4) malam.
<>Sarwono mengatakan, perubahan UUD 1945 seharusnya melibatkan seluruh rakyat dalam proses penyerapan aspirasi.
Hal itu, katanya, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk dialog yang mengusung tema perubahan UUD 1945.
Menurut Sarwono, perubahan UUD 1945 harus dilakukan secara hati-hati, cermat dan bijaksana. Untuk itu, katanya, perubahan tersebut harus dilakukan oleh pihak yang tidak diragukan lagi kredibilitasnya dan terlepas dari pengaruh kompromi politik.
Lebih lanjut wakil DKI Jakarta dalam DPD itu mengatakan, UUD 1945 harus dipandang sebagai `living constitution`. Oleh karena itu, perubahan yang dilandasi kehendak kuat oleh sebagian besar rakyat tidak bisa dipandang sebagai hal yang tabu.
Perubahan yang melibatkan sebanyak-banyaknya aspirasi rakyat, katanya, adalah sebuah usaha untuk menyempurnakan konstitusi sesuai tuntutan zaman.
Selain itu, perubahan konsitusi sebenarnya juga telah dianggap sebagai hal yang wajar oleh para pendiri bangsa.
Hal itu, menurut Sarwono, diungkapkan Presiden pertama Indonesia, Soekarno dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945.
Saat itu, Soekarno mengatakan UUD yang disahkan dalam rapat itu bersifat sementara dan memungkinkan untuk diubah agar menjadi konstitusi yang lebih lengkap dan sempurna.
"Dari pernyataan Ir. Soekarno sebagai salah satu pendiri bangsa, maka kita semestinya menempatkan pernyataan tersebut sebagai amanat yang harus diteruskan untuk menyempurnakan konstitusi negara kita," kata Sarwono.
Terkait wacana perubahan kelima UUD 1945 yang dilontarkan DPD, Sarwono mengatakan hal itu adalah hal patut dilakukan karena DPD juga merupakan elemen negara yang memiliki peran yang penting.
DPD, menurut dia, memiliki fungsi peyeimbang DPR, sebagai implementasi dari sistem bikameral yang mengedepankan penyerapan aspirasi sebanyak-banyaknya dari seluruh elemen masyarakat.
Lebih lanjut Sarwono mengatakan UUD 1945 masih lemah karena belum menyertakan kewenangan legislasi DPD. Hal itu, menurut dia, sangat ironis karena DPD adalah perwakilan rakyat yang harus mendapat kesempatan untuk menyuarakan pemikirannya. (ant/rif)