Warta

Angka Buta Aksara Tinggi, Mayoritas Kaum Perempuan

Selasa, 16 Mei 2006 | 11:52 WIB

Jakarta, NU Online
Angka buta aksara di Indonesia masih tinggi, mayoritas adalah kaum perempuan. Jumlah penduduk Indonesia berusia 10 tahun ke atas yang menyandang buta aksara mencapai 9,07 persen (15,69 juta orang). Dari jumlah tersebut, 67,88 persen (10,65 juta orang) adalah perempuan, sementara 32,12 persen (5,04 juta orang) adalah laki-laki.

Demikian disampaikan Staf Direktorat Dikmas Depdiknas Hamzah Hakim saat hadir sebagai narasumber dalam Dialog Publik Pendidikan yang diselenggarakan oleh Pengurus Besar Korp PMII Putri (PB Kopri), di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Selasa (16/5).

<>

Hadir juga sebagai narasumber dalam acara bertajuk “Mengurai Fakta Buta Aksara Perempuan Indonesia” itu, Sundari Sukoco (Duta Keaksaraan Depdiknas), Angger Pramono (Konsultan PUS Ditjen PLS), Charletty Choesyana (Ketua Kowani) dan Anisah Mahfudz (Anggota Komisi X DPR-RI).

Tingginya angka buta aksara pada perempuan itu juga dibenarkan oleh Sundari Sukoco. Sebagai Duta Keaksaraan Depdiknas, ia mengetahui betul bagaimana kondisi perempuan Indonesia. “Realitasnya memang lebih banyak adalah perempuan, terutama kaum ibu-ibu dan rata-rata ada di pedesaan,” katanya.

Sementara, dalam perspektif berbeda, Angger Pramono mengatakan, kondisi tersebut berkaitan erat dengan persoalan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Mayoritas masyarakat yang buta aksara adalah orang miskin yang hidupnya di pedesaan.

Oleh karena itu, ia menyarankan, untuk mengatasi persoalan tersebut, hendaknya tidak hanya melalui program pemberantasan buta aksara. Peningkatan keterampilan warga juga harus diperhatikan. Peningkatan keterampilan itu penting agar masyarakat bisa meningkatkan pula kesejahteraannya.

“Yang perlu dilakukan adalah jangan hanya program ‘melek’ aksara, tapi juga peningkatan skill masyarakat, agar bisa meningkatkan kesejahteraannya,” terang Pramono.

Selain didominasi oleh kaum perempuan, Anisah Mahfudz mengatakan bahwa, tingginya angka buta aksara pada pedesaan menunjukkan kesenjangan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Kesenjangan yang ia maksud adalah dalam hal ekonomi dan akses pendidikan.

“Ini adalah bentuk kesenjangan. Di Jakarta, misalkan, sebuah sekolah sudah ada yang menggunakan laptop, internet, dan lain-lain dalam proses belajar-mengajar. Sementara, di pelosok sana (pedesaan, red), jangankan internet, beli buku saja nggak mampu,” ungkap Anisah. (rif)


Terkait