Jakarta, NU Online
Perbedaaan lebaran antara Senin dan Selasa beberapa waktu lalu ternyata banyak meninggalkan banyak cerita menarik. Ada saja orang yang memanfaatkan masalah khilafiyah tersebut untuk mencari kemudahan.
Dari sejumlah perbincangan diantara dengan beberapa orang setelah mudik, terungkap bahwa ada diantara mereka yang sudah tak berpuasa pada hari Senin, tapi baru sholat Ied pada hari Selasa. Lalu bagaimanakah hukumnya?
<>Wakil Sekretaris Lembaga Bahstul Masail NU Drs. Arwani Faishal mengungkapkan bahwa jika meyakini hari Senin, maka hakikat Idul Fitri pada tanggal 1 Syawal adalah Senin, sehingga khutbah dan sholat Ied-nya hari Senin.
“Kalau Sholat Ied-nya ngambil Selasanya jelas tidak sah, karena khutbah idul fitri dilaksanakan tanggal 1 syawal. Bukan ngambil enaknya saja. Ini tidak konsisten dan tidak boleh,” tuturnya kepada NU Online
Dikatakannya meskipun sholat Ied sifatnya sunnah, tetap tetapi tetap ada ketentuan yang mengikatnya berupa koridor waktu. “Ini berarti sholat Ied tanggal 2 Syawwal. Ada aturan, koridor yang harus dipatuhi,” paparnya.
Lalu bagaimana jika membatalkan puasa pada hari Senin hanya karena tetangga sekitar sudah berlebaran duluan sehingga kalau ikut Selasa, susah mencari masjid tempat sholat Ied? Arwani berpendapat bahwa hal tersebut juga tidak boleh.
“Beragama itu harus atas dasar keyakinan dan jika kita bertaklid, maka yang ditaklidi juga fihak yang terpercaya. Ikut lebaran hari Senin karena tetangga sudah berlebaran merupakan alasan tidak prinsip, cari mudahnya saja sehingga tidak boleh,” tandasnya.
Sikap tidak konsisten tersebut bukan hanya melulu pada masyarakat awam. Sejumlah ustadz yang mendapat undangan menjadi khotib turut bersikap mendua karena alasan yang sifatnya meteri.
Muhammad Irvan, dosen IAIN Lampung kepada NU Online bercerita terdapat seorang professor jurusan syariah IAIN Lampung yang sudah berlebaran hari Senin dan sholat Ied hari itu juga karena mengikuti aliran agamanya, tapi kemudian menjadi khotib esok harinya. Otomatis ia sholat Ied dua kali.
Irvan menambahkan cerita yang tak kalah hebohnya, ada juga ustadz yang berlebaran hari Selasa tapi sudah khutbah hari Senin saat ia masih berpuasa. Penulis juga punya pengalaman pribadi, ada seorang ustadz yang tiba-tiba batal puasa hari Senin karena ada undangan menjadi khotib dengan “amplop” yang jelas. Tentunya yang paling fatal adalah khotib yang melaksanakan khutbah dua kali demi alasan materi.
“Jika berhari raya karena pertimbangan materi karena mengikuti permintaan khutbah, ini tertolak dalam agama, tidak sah, dan jelas haram,” tandas Arwani.
Lalu bagaimana posisi pejabat pemerintah yang mengikuti lebaran posisinya sebagai pejabat pemerintah sehingga mengikuti ketentuan pemerintah? Arwani berpendapat bahwa meskipun sebagai pejabat pemerintah, ia harus mengikuti keyakinan pribadinya.
“Jika baik buruk mengikuti pemerintah, meskipun keputusan pemerintah bertolak belakang dengan banyak orang dan lebih terpercaya, ini juga tidak boleh,” katanya. (mkf)