Warta

Daniel Dhakidae: Peran Negara Tidak Bisa Dikecilkan

Selasa, 14 Agustus 2007 | 06:03 WIB

Jakarta, NU Online
Undang Undang Dasar (UUD) 1945 perlu diubah karena beberapa isinya memang tidak sesuai lagi. Namun perubahan jangan sampai menjurus kepada sistem demokrasi liberal yang melupakan peran penting negara, hubungannya dengan swasta.

”Tentu saja kita tetap hormat dengan Bung Karno, Hatta, Supomo dan lain lainnya. Saya pikir satu hal yang jadi persoalan dengan UUD 1945 adalah terlalu kuatnya Jepang di baliknya,” kata peneliti senior Daniel Dhakidae dalam diskusi ketiga tentang amandemen UUD 1945 di gedung PBNU, Senin (13/8).

<>

Jepang belajar dari Jerman mengenai konsep organic state, atau sistem korporat, atau di Indonesia sering disebut integralistik, yakni negara diibaratkan sebagai orang atau individu. ”Di mana presiden menjadi kepalanya, lalu tangannya siapa lagi, otaknya siapa, dan seterusnya,” kata Daniel.

”Bung Karno waktu kembali ke UUD 45 dengan jelas bahwa mengatakan ’Hentikan politik!’ karena yang menjadi wakil adalah wakil dari sistem kerja. Jadi ada wakil guru, petani, nelayan dokter, wartawan. Tidak ada wakil rakyat. Saya pikir ini memang terjemahan yang sangat lurus dari sistem korporat yang waktu itu mendapat pertentangan serius. Banyak yang menuntut negara dikembalikan ke individu, ” katanya.

Karena itu, lanjut Daniel, pada saat timbul keinginan untuk melakukan amandemen UUD, semua yang bersifat korporat atau organik itu harus dicairkan. Para reformis memunculkan isu mengenai hak individu atau civil right.

Namun perubahan yang dilakukan sampai empat kali itu memang tidak berdasar pada konsep yang jelas, hanya tambal sulam dan tidak dilihat dalam satu pergeseran yang bagus dari organic state ke konsep negara yang demokratis.

Kenyataanya, amandemen mengarah kepada liberalisasi. Peran negara dikurangi sampai sekecil-kecilnya.

”Padahal itu nonsense. Mana ada di Amerika yang mengatakan cabut subsidi petani pasti akan kalah baik di Partai Demokrat maupun Republik. Artinya peran negara masih kuat di Eropa; apalagi Amerika; apalagi Jepang,” kata Daniel.

Peran negara yang harus direduksi sampai nol tidak mungkin ada. Danil mencontohkan, pada saat perundingan di Hongkong mengenai perdagangan bebas mulai menyentuh produk pertanian, Presiden Prancis Jacques Chirac mengancam keluar dari organisasi perdagangan dunia (WTO). ”Negara Prancis tetap merasa harus memberi subsidi kepada petani,” katanya.

Sistem ekonomi yang ”menyangkut hajat hidup orang banyak" tidak boleh dikuasakan kepada swasta. Negara harus berperan karena tidak ada swasta manapun bisa mengatasi soal pembangunan infrastruktur, misalnya, terutama di Indonesia bagian Timur.

Maka amandemen harus dirumuskan hati-hati karena agar kita kita akan memiskinkan hingga 90 persen dengan berdalih bahwa negara lepas tangan karena campur tangan negara telah dibatasi oleh sistem demokrasi yang telah dileberalkan.

”Kita ngomong di sini demokrasi dalam pengertian yang liberal mengenai penghargaan individu dan seterusnya. Padahal di sini individu tidak berharga; mati berapa tidak masalah. Lapindo misalnya, satu tahun masih belum selesai,” pungkas Daniel.(nam)


Terkait