Jakarta, NU Online
Fatwa haram menonton tayangan infotainment (informasi hiburan) yang pernah dikeluarkan Nahdlatul Ulama (NU) beberapa waktu lalu harus diingatkan kembali kepada pemerintah, pengusaha hiburan dan masyarakat.
“Apa (fatwa haram infotainment itu, Red) hanya sampai di situ saja. Saya kira NU harus mengingatkan kembali,” kata mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia NU, Said Budairi, kepada NU Online, di Jakarta, pekan lalu.
<>Said menilai, tayangan televisi yang lebih banyak berisi gosip tersebut, kini semakin marak dan seakan tak terkendali. Hampir setiap stasiun televisi di Indonesia memiliki program acara yang kerap membuka dan mengungkap kehidupan yang sangat pribadi dari seorang selebriti itu.
Sementara, katanya, pemerintah sebagai regulator, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan sejumlah lembaga pengawas media lainnya tampak tak mampu berbuat banyak. Sejumlah peraturan, seperti Undang-undang Pers pun tak dipatuhi dan ditaati dengan baik oleh media massa.
“Sekarang pers merasa menjadi pilar keempat dari demokrasi yang kita jalankan ini. Nggak masalah bagi saya, tapi UU Pers itu harus dipatuhi. Tidak seperti sekarang yang jadi kebablasan kayak gini,” terang Said.
Karena itulah, tegas Said, fatwa haram menonton infotainment yang merupakan hasil Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Surabaya, akhir Juli 2006 silam itu, harus kembali diingatkan.
Said menambahkan, fatwa tersebut semestinya tak hanya berlaku bagi infotainment semata, melainkan harus diperluas cakupannya pada tayangan-tayangan atau bentuk informasi lainnya yang tidak mendidik masyarakat. Ia mencontohkan, pornografi dan pornoaksi yang juga tak kalah maraknya dibanding infotainment. (rif)