Jakarta, NU Online
Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) DPR RI mulai geram atas penganan kasus luapan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, yang hingga kini belum tuntas. FKB memberikan batas waktu dua minggu kepada pemerintah untuk menetapkan sebagai bencana nasional. Jika tidak, mereka mengancam akan menduduki Istana Negara.
"Jika dalam dua minggu pemerintah tidak mengambil langkah-langkah tersebut, kami dari FKB akan memimpin langsung demo ke Istana bersama korban Lapindo," ujar Wakil Ketua FKB Marwan Jafar di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (6/3).
<>Ketua FKB Ida Fauziah menegaskan, penetapan kasus semburan lumpur Lapindo sebagai bencana nasional tidak akan menghilangkan tanggung jawab Lapindo untuk membayar ganti rugi kepada warga.
Penetapan semata-mata dimaksudkan agar penyelesaian kasus lumpur itu lebih cepat dan efektif. "Usulan agar bencana Lapindo menjadi bencana nasional tidak akan sedikit pun memberikan ruang kepada Lapindo lari dari tanggung jawab tapi kita lihat Timnas tidak efektif karena itu pemerintah harus ambil alih," urainya.
Sementara itu, Sekreteris FKB Helmy Faisal Zaini meminta agar kasus ini juga ditangani secara hukum. Jika kasus tersebut terus dibiarkan, Lapindo tidak akan bertanggung jawab atas kelalaiannya dalam pengeboran.
"Maling ayam di kampung saja dihukum, masa ada orang yang nyata-nyata telah melanggar prosedur pengeboran tapi dibiarkan saja," kata Helmy.
Sekretaris Tim Pemantau Lumpur Lapindo FKB Aryo Widjanarko meminta pemerintah merelokasi korban lumpur ke tempat yang layak. Selain itu juga merelokasi infrastruktur yang rusak akibat luapan lumpur Lapindo. "Pemerintah harus melihat sisi sosial masyarakat Lapindo. Jangan dibiarkan terbengkalai," tandasnya.
Di tempat terpisah, Khofifah Indar Parawansa menyatakan siap mendukung upaya yang ditempuh warga untuk menuntut ganti rugi yang dibayarkan secara cash and carry.
"Saya rasa masyarakat inilah yang lebih tahu di mana mencari tempat yang lebih nyaman bagi kehidupan mereka. Resettlement (pemukiman kembali) bukan solusi yang solutif," ujar Khofifah yang juga Ketua Umum Pimpinan Pusat Muslimat Nahdlatul Ulama.
Menurut Khofifah, masyarakat lebih baik diberi keleluasaan di mana mereka akan berdomisili sesuai dengan sumber nafkah mereka selama ini. "Saya rasa itu akan lebih wise, karena ada tradisi masyarakat kita berpola rumah terbuka. Petani, misalnya, butuh rumah yang dekat dengan lahan pertanian. Petambak juga butuh yang dekat tambak," urainya.
Mengenai persyaratan sertifikat tanah yang diperlukan untuk memperoleh ganti rugi, Khofifah menganggap perlu diberikan kebijakan khusus yakni tidak harus mempunyai sertifikat. Sebab, katanya, banyak masyarakat Indonesia yang belum akrab dengan sertifikat tanah.
"Solusinya boleh petok D (surat tanah warga yang diarsip di kantor desa), boleh juga kesaksian. Mungkin bisa dilokalisir oleh Bupati dengan melibatkan RT/RW setempat bahwa ini milik si A, luas sekian, sehingga kalau dikompensasikan ganti ruginya sekian," terang Khofifah. (dtc/rif)