Warta

FSPI Minta Polri Bertanggung Jawab

Kamis, 22 September 2005 | 02:44 WIB

Jakarta, NU Online
Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) menuntut Polri bertanggung jawab atas tragedi kemanusiaan yang terjadi di Desa Tanak Awu, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Minggu (18/9) yang menyebabkan puluhan petani luka-luka.

Dalam siaran pers yang dikirim ke redaksi, Kamis (22/9), FSPI menyatakan sebagai bentuk tanggung jawabnya Polri harus memecat Kapolda NTB dan Kapolres Lombok Tengah karena telah lalai dalam menjalankan tugasnya. Selain itu Polri juga harus mengeluarkan seluruh aparat polisi dari areal tanah milik petani.

<>

"Polri juga harus menanggung segala kerugian material dan non material yang dialami petani, serta menghukum polisi pelaku tindak kekerasan di semua level," tulis siaran pers yang ditandatangani FSPI, Walhi, PBHI, YLBHI, Sintesa, KPA, Kontras, Solidaritas Buruh Sumatera Utara (SBSU) dan Lentera-Miskin Kota Medan.

Seperti diketahui bentrokan fisik yang terjadi Minggu (18/9) sekitar pukul 10.30 WITA itu dipicu oleh pembubaran secara paksa Rapat Umum Serta NTB dan Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) untuk memperingati hari petani tanggal 24 September mendatang di lokasi tanah yang bakal dibangun bandar udara (bandara) sebagai pengganti Bandara Selaparang Mataram.

FSPI menilai, pembubaran acara rapat umum Serta dan FSPI di Tanak Awu yang sudah mengantongi izin dari Polri tersebut sangat mendadak, karena disampaikan Sabtu 17 September sekitar pukul 08.00 Wita, sementara seluruh peserta pertemuan baik dari dalam maupun dari luar negeri sudah berada di NTB.

Demikian juga 15 delegasi dari berbagai negara yang tergabung dalam "La Via Campesina Land Research Action Network" (LRAN) dan Food First International Action Network (FIAN) bersama sejumlah anggota FSPI saat itu sedang dalam perjalanan menuju Tanak Awu, Lombok Tengah. "Dengan demikian kami tidak mungkin bernegosiasi untuk membatalkan pertemuan tersebut, terlebih lagi saat itu para petani sudah menyiapkan segala sesuatu untuk pelaksanaan acara tersebut, bahkan mereka sudah memotong sapi," tulis siaran pers tersebut.

Menurut data dari FSPI dan Serta (Serikat Tani) NTB, akibat aksi pembubaran secara paksa pertemuan petani di tanak Awu tersebut tercatat 33 petani yang menderita luka-luka akibat tindakan kekerasan termasuk 27 orang diantaranya terkena tembakan dan 4 orang masih di tahan kepolisian setempat. Salah satu bukti terjadinya tindakan kekerasan, Serta NTB menemukan sedikitnya 69 selongsong peluru termasuk enam selongsong peluru tajam, selebihnya peluru karet dan empat selongsong gas air mata di lokasi kejadian.

Sementara itu sejumlah LSM delegasi La Via campesina  (Gerakan Petani Internasional) yang menghadiri kegiatan tersebut akan melakukan kampanye internasional untuk menuntut penghukuman terhadap pelaku kekerasan tersebut. "Kami akan segera mengangkat kasus ini di negara masing-masing dan meminta pemerintah Indonesia untuk menghukum pelaku kejahatan dan pemerintah harus menjamin hak petani untuk mempertahankan hidupnya," tulisnya lagi.

Sampai berita ini ditulis dikatakan siaran pers tersebut masih ada intimidasi yang dilakukan oleh kepolisian terhadap para petani dan diperkirakan jumlah korban akan terus bertambah. (cih)

 

 


Terkait