Mantan presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengatakan, tradisi Tahun Baru Imlek yang merupakan salah satu hari raya Tionghoa tradisional, tidak haram dirayakan oleh warga keturunan Cina yang beragama Islam.
Menurut Gus Dur, pada dasarnya, peringatan hari itu adalah sebuah perayaan yang dilakukan oleh para petani di Cina yang biasanya jatuh pada tanggal satu di bulan pertama di awal tahun baru.<>
"Imlek itu bukan perayaan hari raya, itu perayaan tani," ujar Gus Dur yang juga Ketua Umum Dewan Syura DPP Partai Kebangkitan Bangsa dalam talkshow bertajuk "Living in Harmony the Chinese Heritage in Indonesia" di Mal Ciputra, Jalan S Parman, Jakarta, Rabu (30/1) malam.
Budaya Cina sendiri, kata mantan ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama itu banyak mempengaruhi budaya Betawi. "Budaya Betawi itu campur aduk antara Arab, Melayu, dan Tionghoa," jelasnya.
Ia juga menyambut baik tumbuh dan berkembangnya kebudayaan Cina di Indonesia sejak diizinkannya perayaan Imlek secara luas pada masa pemerintahannya. "Mari kita bawa Republik Indonesia ini kepada pluralitas," pungkasnya.
Dalam kesempatan itu, Gus Dur mengaku keturunan Tionghoa. Ia malah dengan bangga, mengakui dirinya sebagai seorang Cina tulen. "Saya ini Cina tulen, sebenarnya. Tapi, ya sudah nyampurlah dengan Arab dan India. Nenek moyang saya orang Tionghoa asli," ungkapnya.
Ia menjelaskan dirinya adalah turunan Putri Campa yang menjadi selir Raja Majapahit Brawijaya V. "Putri Campa itu lahir di Tionghoa, lalu dibawa ke Indonesia," jelasnya.
Dari perkawinannya dengan Brawijaya V, Putri Campa ini mempunyai 2 orang putra. Yang pertama adalah Tan Eng Hian yang mendirikan kerajaan Demak dan akhirnya berganti nama jadi Raden Patah. "Dari sana keturunannya," ujarnya.
Sedangkan putra Putri Campa yang satunya lagi diceritakan Gus Dur bernama Tan A Hok yang akhirnya menjadi seorang Jenderal. (dtc/rif)