Warta

Kilas Resolusi Jihad dan Peristiwa 10 November (1)

Jumat, 10 November 2006 | 02:33 WIB

BELANDA dan tentara Sekutu belum mau mengakui kemerdekaan Indonesia. 43 hari setelah proklamasi kemerdekaan, tentara Inggris mendarat di ibu kota Jakarta dengan nama Netherlands Indies Civil Administration (NICA) dan langsung merangsek masuk ke berbagai kota di Indonesia. Di belakangnya membonceng pasukan Belanda yang masih menginginkan Indonesia. Sementara pemerintah Indonesia masih sibuk menata birokrasi negara baru, mendorong terbentuknya partai-partai politik, dan mempersiapkan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), pada 10 Oktober 1945 Belanda dan Sekutunya telah menduduki Medan, Padang, Palembang dan Bandung setelah melalui pertempuran sengit. Pada 19 Oktober Semarang pun telah dikuasai. Sedangkan kota-kota besar di Indonesia bagian timur menjadi jatah tentara Australia.

Adalah Surabaya, salah satu kota Industri terbesar di dunia, bahkan lebih besar dari Tokyo saat itu. Kota pelabuhan ini juga sekaligus sebagai tempat mangkalnya para santri yang entah berdagang, berdiskusi soal-soal keagamaan, atau menyusun strategi-strategi melawan penjajahan. Di kota inilah organisasi kaum pesantren Nahdlatul Ulama (NU) didirikan pada 31 Januari 1926, sekaligus menjadi pusat pergerakannya untuk pertama kali.

<>

Di kota ini juga para pemuda pesantren yang dekat dengan para kiai membentuk perkumpulan yang bernama Syubbanul Wathon pada 1924. Di saat para pemuda dari daerah lain membentuk Jong Java, Jong Sumatra, Jong Ambon, Jong Celebes, Pemuda Betawi, dan sejenisnya yang bersifat kedaerahan, pemuda-pemuda pesantren yang berkumpul di Surabaya ini mendirikan perkumpulan muda yang berbeda dengan yang lain. Mereka menyebut diri Syubbanul Wathon, Pemuda Tanah Air. Kelak setelah NU berdiri organisasi para pemuda pesantren ini berganti nama menjadi Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO) dan menyatu dalam  pasukan non regular Hizbullah di bawah komando para kiai berada di garda depan perjuangan merebut kembali kemerdekaan Republik Indonesia.

Para pemuda Surabaya, selain sangat taat beragama dan petuah para kiai juga terkenal paling radikal dibanding pemuda kota-kota lainnya. Di kantor-kantor atau pabrik mereka bekerja didirikan organisasi-organisasi pemuda. Pada minggu kedua September berita bahwa tentara Belanda dan Sekutunya segera datang lengkap dengan persenjataan modernnya telah didengar oleh para pemuda Surabaya. Organisasi-organisasi pemuda yang sebelumnnya bersifat setempat dan terpencar kini bersatu. Rapat-rapat raksasa mudah sekali digelar hanya dengan beberapa kali pekikan ”MERDEKA!”

Pada 11 September atau delapan hari sebelum diadakan rapat raksasa di Lapangan Ikada Jakarta para pemuda Surabaya berkumpul di Lapangan Tambaksari di bawah pengawalan ketat tentara Jepang. R. Sudirman dan Doel Arnowo, masing-masing residen Surabaya dan Kepala Komite Nasional Indonesia (KNI) Jawa Timur, dengan sangat hati-hati dan bijaksana. Namun seorang pimpinan pemuda paling radikal bernama Soemarsono langsung memprofokasi para pemuda untuk menggelar demontrasi-demontrasi dan mengambil alih gedung-gedung dan kantor-kantor pemerintahan. Para pemuda Surabaya gampang sekali terbakar darahnya. Masa-masa sakit diperlakukan para penjajah, dendam, dan keberanian berkumpul menjadi satu.

Kekerasan pertama terjadi pada 19 September 1945, ketika sekelompok tahanan yang baru dilepaskan menaikkan bendera Belanda di Hotel Yamato (Sekarang Hotel Majapahit) Tunjungan Surabaya. Sejumlah besar pemuda langsung berkumpul di tempat itu. Situasi seketika berubah menegangkan. Salah seorang pemberani dari kader organisasi kepemudaan NU Ansor yang biasa dipanggil Cak Asy’ary menaiki tiang bendera dan langsung merobek warna biru bendera Belanda. Berkibarlah Sang Merah Putih. Situasi semakin buruk. Percekcokan antara orang-orang belanda, Indo, Jepang dan pemuda Indonesia sering berakhir dengan tewas. Sehari setelah peristiwa perobekan bendera itu arak-arakan bergerak ke sekeliling kota. Para pemuda tidak menghiraukan peringatan tentara jepang yang melarang para pemuda membawa bambu runcing, bahkan senjata senjata lain yang tak menyenangkan pun terang-terangan diacung-acungkan.

Saat-saat yang ditunggu hampir tiba. Belanda dan Sekutunya terdengar hampir mendekati Surabaya. Melihat situasi itu Presiden Soekarno dari Jakarta mengutus orang menghadap seorang kiai terkemuka di Jawa Timur sekaligus Rais Akbar organisasi NU Hadratu Syekh KH. Hasyim Asy’ary alias Mbah Hasyim yang berdomisili di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, beberapa puluh kilometer dari kota Surabaya. Soekarno dikenal baik oleh Mbah Hasyim karena sempat nyantri, minta amalan, dan berpuasa selama empat puluh hari di Pondok Pesantren Tebuireng. Melalui utusannya itu Soekarno bertanya kepada Mbah Hasyim, ”Apakah hukumnya membela tanah air? bukan membela Allah, membela Islam atau membela al-Qur’an. Sekali lagi, membela tanah air?”

Pertanyaan Soekarno ini sebenarnya telah ada jawabannya dalam catatan sejarah pesantren. Sejak zaman Demak, perjuangan melawan penjajah Portugis yang dipimpin Adipati Yunus, baik yang ada di Malaka, Ambon maupun Sunda Kelapa mendapat dukungan kuat dari kalangan pesantren. Bahkan perang Jawa (1825-1830) yang dipimpin Diponegoro, perang terbesar dalam sejarah peperangan rakyat melawan penjajahan di bumi Nusantra ini, tidak digerakkan dari kerajaan tetapi dari pesantren Tegalrejo Magelang, Jawa Tenngah. Sementara itu berdirinya pesantren di abad ke-18 hingga abad ke-20 yang berada tidak jauh dari pabrik-pabrik gula Belanda selalu merupakan resistensi dan oposisi langsung terhadap kolonialisme. Pesantren juga merupakan tempat penggemblengan para satria kelana yang kelak memelopori berbagai pemberontakan. Sepertinya Soekarno hanya bermaksud meminta Mbah Hasyim dan warga pesantren untuk tidak segan-segan bertempur melawan para penjajah yang ingin kembali berkuasa. Surabaya, keberanian, dan semangatnya adalah benteng terakhir. Dan Mbah Hasyim telah mengerti maksud Soekarno.

Mbah Hasyim langsung memanggil Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Syamsuri dan para kiai lainnya lainnya untuk mengumpulkan para kiai se-Jawa dan Madura atau utusan cabang NU-nya untuk berkumpul di Surabaya, tepatnya di kantor PB Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO) di Jl. Bubutan VI/2. Namun pada 21 Oktober para kiai baru dapat berkumpul semua. Mbah Hasyim meminta para kiai lainnya menunggu beberapa kiai terkemuka yang datang dari Jawa Barat seperti Kiai Abbas Buntet, Kiai Satori Arjawinangun, Kiai Amin Babagan Ciwaringin, dan Kiai Suja’i Indramayu. Waktu itu perjalanan ke Surabaya mengandalkan jasa kereta api yang masih sangat sederhana. Setelah semua kiai berkumpul, segera diadakan rapat darurat yang dipimpin oleh Kiai Wahab Chasbullah. Pada 23 Oktober Mbah Hasyim atas nama HB. (Pengurus Besar) organisasi NU mendeklarasikan sebuah seruan jihad fi sabilillah yang belakangan terkenal sengan istilah Resolusi Jihad.

Segera setelah itu, pesantren-pesantren di Jawa dan Madura menjadi markas pasukan non regular Hizbullah dan Sabilillah dan tinggal menunggu komando. Pengajian-pengajian telah berubah menjadi pelatihan menggunakan senjata. Pada detik-detik ini pesantren-pesantren juga didatangi oleh para pejuang dari berbagai kalangan untuk minta kesakten kepada para kiai. Tanpa itu para pejuang merasa tidak akan mampu menghadapi pasukan Belanda dan Sekutu dengan senjata-senjata berat mereka. Selanjutnya, ribuan kiai dan santri dari Jawa dan Madura mulai bergerak ke Surabaya. Pada 25 Oktober, pasukan Inggris yang berkekuatan enam ribu tentara dipimpin Brigadir Jendral Mallaby, panglima brigade ke-49 (India), akhirnya muncul di pelabuhan Tanjung Perak dipimpin.

Mallaby dan pasukannya berada pada posisi sulit. Gerak-gerik mereka menjadi pusat perhatian warga Surabaya dan warga dari daerah lainnya yang tampak semakin gelisah. Mulanya mereka disambut dengan baik karena mengaku hanya betugas mengungsikan tentara Jepang. Namun keadaan berubah ketika salah seorang yang tergabung dalam barisan Hizbullah pos Surabaya Barat menyaksikan kotak senjata yang jatuh berantakan di rel kereta api berisi senjata api dari pesawat Inggris rel kereta api. Sebelumnya Sekutu mengaku bahwa kotak-kotak itu berisi bahan makanan. Pada sore hari 27 Oktober ketika selebaran-selebaran dijatuhkan dari udara berisi perintah dari panglima sekutu di Jakarta agar rakyat Indonesia segera menyerahkan senjata apa pun dalam tempo 48 jam, kontan membuat kemarahan semakin memuncak. Pertempuran-pertempuran lalu menjalar di berbagai penjuru Surabaya. Inggris nyaris hancur sehingga meminta Soekarno datang ke Surabaya untuk meredakan suasana.

Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta pun akhirnya datang dari Jakarta untuk berunding dengan Mallaby. Pertempuran agak mereda. Namun tidak lama setelah rombongan Sukarno kembali ke Jakarta, pada 30 Oktober pukul 17.00, pertempuran kembali berlangsung. Tempat terakhir yang digempur adalah Gedung Bank Internatio di Jembatan Merah yang masih dikuasai Inggris. Mallaby menjadi sasaran utama. Dia ditusuk dengan bayonet dan bambu runcing oleh para pemuda yang tidak tahan lagi melihat penjajah kembali berkeliaran. Para pengawalnya lari tunggang langkang. Mallabi tewas.

Pada 1 November, kapal perang Sekutu muncul dari pelabuhan Tanjung Perak dengan membawa 24.000 tentara dipimpin Jendral Mansergh dan dengan persenjataan yang lebih lengkap lagi. Pasukan Inggris menyebar dengan tenang sampai 9 November. Pada tanggal inilah Sekutu kembali memberikan ultimatum melalui udara agar senjata-senjata diserahkan pukul 06.00 pada hari berikutnya. Sementara keputusan dan komando dari Jakarta tak kunjung tiba, malam itu pukul 23.00 Gubernur Soerjo dengan tegas menolak ultimatum itu melalui radio dan mengumumkan keputusannya bahwa Surabaya akan melawan sampai titik darah penghabisan.

Pagi hari pukul 06.00 tanggal 10 November, serangan Inggris dimulai. Bung Tomo, seorang wartawan pada masa penjajahan Jepang yang saat itu memegang memegang microphone Radio Pemberontakan segera berjingkrak-jingkrak mengumpulkan dan memompa semangat warga Surabaya dengan kalimat takbir, "Allhauakbar, Allahuakbar", yang lazim digunakan untuk keperluan membakar semangad jihad. Darah warga Surabaya, para santri dan umat Islam terbakar. Terjadilah pertempuran dahsyat itu.

Sementara itu para santri dan pemuda merapatkan barisan di dalam pasukan Hizbullah yang dipimpin oleh H. Zainul Arifin. Mereka membaur bersama pasukan lainnya di antara teriakan, darah, dan lautan api. Para kiai bergabung dengan barisan pasukan non reguler Sabilillah yang dikomandani oleh KH. Maskur. Sementara sebagai komandan umum warga pesantren di medan pertempuran adalah KH. Wahab Chasbullah.

Adalah para kiai pesantren berada di itu medan pertempuran menghadapi tank, pesawat tempur, dan peluru-peluru mematikan itu dengan tenang dan menyenangkan. Di satu sudut pertempuran, salah seorang komandan pasukan India Zia-ul-Haq yang belakangan menjadi Presiden Republik Islam Pakistan tertegun melihat para kiai dan santri sedang bertakbir dan berdoa sambil mengacungkan senjata. Ia tidak tahan menyaksikan itu dan langsung lari menjauhi medan perang. Kontan prilaku aneh Zia-ul-Haq menyebabkan pasukan Inggris kocar-kacir. Memang sejak awal sebagian besat pasukan Inggris yang merupakan serdadu India itu berada pada posisi dilematis. Semangat nasionalisme bangsa Indonesia yang semakin meningkat di satu sisi dan tuntutan untuk tidak menindas perjuangan sesama bangsa Asia baik datang dari negerinya sendiri atau dari bangsa Indonesia di sisi lain membuat para serdadu India itu bertempur setengah hati. Selain itu, ada peringatan dari Gubernur Inggris di tanah jajahan India bahwa semakin banyak menggunakan pasukan-pasukan India untuk menghancurkan Republik Indonesia, keadaan India sendiri akan semakin gawat.

Namun toh pertempuran tetap terjadi. Pemboman besar-besaran pasukan Inggris dari laut dan udara membinasakan sebagian besar Surabaya. Para pejuang yang bersatu padu di kota Surabaya tidak menyerah menghadapai pasukan pemenang Perang Dunia II itu. Pertempuran berlangsung sampai tiga minggu. Sekutu akhirnya menguasai seluruh Surabaya setelah melangkahi jutaan mayat, entah utuh atau potongan tubuh, yang berceran di mana-mana. (A Khoirul Anam)


Terkait