Warta

Kita Bahkan Sering Tidak Faham Tulisan Sendiri

Jumat, 2 Desember 2005 | 13:39 WIB

Jakarta, NU Online
Belakangan goretan pena anak-anak muda pesantren membanjiri media cetak, majalah, dan jurnal ilmiah, baik yang terbit di Jakarta yang selanjutnya disebut media nasional, atau yang terbit di kota-kota besar lainnya yang secara sembarangan selanjutnya disebut media lokal.

Lihat saja, karya-karya tulis itu menempati kolom opini, ulasan budaya, kajian ilmiah dan penelitian, sastra, resensi, bahkan di kolom-kolom khusus. Anak-anak muda umumnya membawa nama Lembaga Sosial Kemasyarakatan (LSM), lembaga kajian atau pergerakan yang mereka geluti, bahkan banyak yang tidak malu-malu menyebutkan nama pesantren di bawah judul tulisan dan nama atau dalam biografinya.

<>

Perkembangan ini, bukan berarti tanpa kritik. Para penulis sering terlena dengan isu apa saja yang aktual di media massa. Akibatnya, pengamatan dan ide yang ditupesantren lis kurang mendalam dan selanjutnya tenggelam bersamaan dengan pergantian isu. Kritik ini tentunya bukan ditujukan khusus untuk para penulis muda pesantren.

Binhad Nurrohmat, penyair lulusan Pesantren Krapyak Yogyakarta yang namanya muncul hampir setiap hari Mingu di beberapa media Massa itu mengaku sering geram dengan topik-topik tulisan yang muncul di media massa. Tidak sekedar persoalan kedalaman, "tapi juga soal pemilihan kata," katanya. Mungkin dia juga geram dengan tulisannya sendiri.

"Para penulis juga senang meminjam definisi-definisi populer katakan yang berbau Barat padahal sebenarnya tidak faham dengan istilah yang mereka pakai. Menurut saya lebih baik kita tidak berbicara isi satu buku, misalnya, jika belum membacanya tuntas. Akibatnya, tulisannya sendiri tidak faham," kata Binhad pada diskusi kebudayaan di PBNU beberapa waktu lalu.

Baiklah jika para pembaca karya sastra tidak faham dengan yang mereka baca, itu tidak menjadi masalah. Akan tetapi jika para penulis tidak faham dengan tulisannya sendiri, atau para pembahas tidak faham dengan yang mereka bicarakan, urusannya lain lagi.

Sebagai tambahan, para penulis muda pesantren senang dengan tema-tema umum seperti pluralisme atau multikulturalisme, feminisme dan demokrasi atau civil society menurut perpektif Islam atau sosial, namun tidak tahu-menahu soal teknis pemecahan persoalan yang adal dalam masyarakat kaitannya dengan tema-tema itu. Kalau sudah begini, sepertinya tak perlu ada jarak antara wacana dan praktislah...(nam)


Terkait