LBH Ansor DIY Tolak Rencana Bupati Bantul Bangun RS Penyandang Cacat
Senin, 14 Juli 2008 | 08:09 WIB
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Gerakan Pemuda Ansor DI Yogyakarta menolak rencana Bupati Bantul yang akan membangun Rumah Sakit (RS) Penyandang Cacat bagi korban gempa di Dusun Piring Piring dan Klisat, Desa Srihardono, Kecamatan Pundong.
Penolakan dilakukan atas dasar ketidaksetujuan warga setempat terhadap pembangunan RS tersebut. Pasalnya, 21 warga setempat yang menjadi kliennya, mengaku tak dilibatkan dalam rencana pembangunan itu.<>
Karenanya, LBH Ansor DI Yogyakarta, sebagai kuasa hukum warga, meminta penjelasan kepada Bupati Bantul terkait rencana tersebut. Untuk kepentingan itu, mereka mendesak agar pembangunan RS ditunda hingga warga setempat diajak berpartisipasi dan bermusyawarah mencari solusi terbaik.
Ketua LBH Ansor DI Yogyakarta, M. Akriman Hadi SH, mengatakan, dasar warga melakukan penolakan adalah tidak pernah diajak bermusyawarah membahas rencana proyek pembangunan.
“(warga) langsung diberikan sosialisasi dengan tawaran pindah dan menerima tali asih. Bahkan, proyek pembangunan tersebut, pengamatan warga tidak merupakan rencana pembangunan daerah. Juga terkesan dipaksakan karena tidak pernah diinformasikan jauh-jauh sebelumnya,” jelas Akriman.
Bahkan, imbuh Akriman, warga diancam rumahnya akan digusur dengan alat boldozer jika tidak segera pindah dari Dusun Piring dan Klisat. Dana kompensasi tali asih yang dijanjikan pemerintah sebesar Rp 17,5 juta (untuk rumah), shelter sebesar Rp 11 juta dan lahan sebanyak Rp 1,5 juta, akan hilang jika tidak segera diambil.
Tak hanya itu. Menurut Akriman, sampai sekarang, proyek pembangunan itu, belum dipublikasikan secara transparan mengenai nama perusahaan kontraktor, amdal, anggaran, maket proyek, rencana waktu dan lain sebagainya.
“Warga sangat menghargai rencana baik pemerintah. Warga berharap mendapatkan solusi tepat dengan tidak harus pindah dan menerima tali asih. Tetapi relokasi yang tepat dan atau penataan lokasi, dengan penyesuaian maket proyek dan atau yang lainnya berdasarkan musyawarah permufakatan,” jelas Akriman melalui siaran pers yang diterima NU Online, Senin (14/7).
Lahan tersebut semula milik pemerintah Hindia Belanda yang digunakan sebagai pabrik gula. Sekira tahun 1950-an, lahan itu telah ditinggalkan pemerintah Hindia Belanda, begitu pun pabrik juga telah berhenti beroperasi.
Lalu, warga setempat berinisiatif membersihkan dan memanfaatkan sebagai tanah garapan. Ada pula beberapa warga yang mendirikan bangunan rumah sebagai tempat tinggal serta kandang ternak.
Tahun 2000, warga bersama kepala desa, membuat kavling tanah dan mengajukan permohonan ke Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Bantul. Saat ini mereka telah memiliki Surat Hak Menggarap dari panitia kavling tanah RVO Pundong. Mereka juga membayar Pajak Bumi dan Bangunan ke Kantor Pelayanan Pajak
“Kantor Pelayanan Pajak selalu menulis di atasnya dengan RVO. Dengan demikian, status tanah tersebut adalah RVO peninggalan Pemerintah Hindia Belanda,” papar Akriman. (rif)