Usulan penggunaan metode ahlul halli wal aqdi atau penunjukan ketua tanfidziyah NU oleh syuriyah dalam muktamar ke-32 NU perlu disosialisasikan terlebih dahulu jika ingin diterapkan, agar tidak menimbulkan penolakan dari wilayah dan cabang yang merasa haknya terampas.
“Saya tidak masalah modelnya apa, tetapi jika ingin diterapkan, perlu ada sosialisasi karena bisa ribut akibat cabang dan wilayah yang merasa dipotong haknya,” kata KH Hasyim Muzadi dalam pembukaan Rakernas Majelis Alumni IPNU di Jakarta, Ahad (31/1).<>
Model ahlul halli wal aqdi pernah digunakan pada muktamar ke-27 NU di Situbondo pada tahun 1984, tetapi sebelumnya sudah diadakan sosialisasi mengenai penggunaan cara ini dalam munas alim ulama pada tahun 1983 dan para kiai yang memiliki wewenang untuk memilih juga sudah ditentukan.
“Kalau sekarang diterapkan, siapa kiai yang akan memilih, bisa ribut sendiri,” tandasnya.
Majelis Alumni IPNU berpendapat upaya penggunaan model ini merupakan refleksi dari perjalanan NU sebagai organisasi ulama dan merupakan upaya untuk meningkatkan peran syuriyah NU.
Asrorun Niam Sholeh, sekjen Majelis Alumni IPNU mengusulkan teknis pemilihan dengan pola tiap-tiap wilayah dan cabang NU nanti akan menetapkan 9 nama. Dari hasil rekap akan dicari 33 nama ulama yang akan menjadi ahlul halli wal aqdi melalui sistem suara terbanyak.
"Baru setelah itu 33 orang ahlul halli wal 'aqdi yang menjadi anggota Majelis Syuriyyah akan menetapkan ketua pelaksana harian PBNU dengan dibantu wakil-wakil ketua bidang. Jadi pelaksana harian itu hanya menjalankan kebijakan dan garis yang ditetapkan syuriyyah," kata Pengasuh Pesantren Model al-Nahdlah Depok ini.
Lebih lanjut Niam menegaskan bahwa reformasi sistem pemilihan ini sangat mendesak untuk dilakukan sebagai koreksi atas sistem yang berlaku selama ini, yakni dengan sistem voting satu delegasi satu suara.
"Selama ini proses pemilihan hanya mengejar prosedural demokrasi namun luput dari substansi yang dituju. Sistem ini melahirkan tirani kaum kapital yang meneggelamkan kewibawaan Ulama, di mana sang calon harus kasak kusuk memperebutkan suara terbanyak", ujarnya.
Dengan sistem pemilihan secara paket, tambahnya, semangat kebersamaan akan semakin terjaga dan fragmentasi akan terminimalisasi.
Sistem pemilihan langsung, menurut Niam tidak cocok dengan khittah organisasi yang mengedepankan supremasi Ulama. "Nilai yang dikembangkan NU dalam kepemipinan adalah amanah, sehingga nilai yang dominan adalah pengabdian atau khidmah. Prinsip pemilihan langsung dengan pencalonan diri akan kontraproduktif dengan nilai khidmah dalam kepemimpinan NU ini," ujar Niam.
Selanjutnya Niam menjelaskan bahwa pelaksanaan pilkada langsung di berbagai daerah yang melahirkan cukong-cukong politik harus menjadi pelajaran bahwa demokrasi yang hanya mengejar partisipasi prosedural akan berdampak buruk yang bisa jadi akan menjadi arus balik yang membahayakan demokrasi itu sendiri.
"Untuk itu, NU harus menjadi motor pendobrak demokrasi prosedural menuju demokrasi substantif, dengan pendekatan kualitatif, diawali dengan reformasi internal model pemilihan pimpinan yang mengedepankan prinsip kebersamaan," pungkasnya. (mkf)