Warta

NU di Daerah Rindu "Sentuhan" PBNU

Jumat, 21 September 2007 | 13:13 WIB

Bengkulu, NU Online
Kunjungan rombongan dari PBNU untuk memberikan bantuan kepada nahdliyin yang menjadi korban gempa bisa menjadi pengobat rindu atas perhatian yang diberikan oleh PBNU kepada PCNU, Majelis Wakil Cabang (MWC) dan Ranting di Bengkulu.

“Kami bersyukur sekali, rombongan PBNU bisa berkunjung kemari. Kalau tidak ada gempa, belum tentu kami mendapat perhatian dan berkunjung ke sini,” tutur KH Yasirun Azizi, Rais PCNU Mukomuko dalam dialog dengan tim penanggulangan bencana NU Selasa malam (18/9) di desa Lebak Mukti Kec. Transtrunjam Mukomuko.

<>

Tim penanggulangan bencana PBNU yang dipimpin oleh Avianto Muhatdi datang bersama sejumlah pengurus PWNU, GP Ansor, IPNU, IPPNU Banser, dan tim dokter. Disini mereka memberikan bantuan yang diperlukan seperti terpal, beras, susu bayi, pembalut wanita dan pengobatan gratis. Bantuan ini sebenarnya bagian dari need assessment untuk dukungan yang bisa diberikan selanjutnya.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Mukomuko merupakan ujung propinsi Bengkulu. Diperlukan waktu sekitar 7 jam dari kota Bengkulu dengan kondisi jalan yang sempit, rusak-rusak akibat gempa dan naik turun dengan tikungan tajam. Daerah ini termasuk yang terparah akibat gempa yang terjadi pada Rabu (12/9). Para penduduk juga masih tidur ditenda karena gempa susulan masih sering terjadi.

Rombongan datang sekitar pukul 21.30 malam di masjid darurat yang dibangun di tanah lapang depan masjid yang retak-retak. Jamaah tarawih masih menunggu kedatangan rombongan PBNU untuk bisa bertemu dan menyampaikan kebutuhan yang mereka perlukan setelah terkena bencana yang datangnya tak diduga-duga. Kepala desa setempat juga menyempatkan diri untuk datang dan menjelaskan kondisi yang terjadi di desa itu.

Usai dialog, obrolan yang gayeng ala NU dengan para pengurus NU setempat selanjutnya dilakukan dan berlangsung sampai jam 2 malam dengan ditemani dengan kopi kental, informasi dan situasi di PBNU dan perkembangan NU di Mukomuko dipertukarkan.

“Kami sangat berharap bisa memperoleh informasi dan perkembangan PBNU di Jakarta, maklum lokasi kami jauh dan aksesnya susah,” tutur seorang pengurus. Sejauh ini mereka belum mendapatkan media NU seperti majalah atau bisa mengakses NU Online. Jaringan internet masih menjadi barang mewah.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Dari obrolan ringan tersebut, terungkap bahwa ancaman gerakan transnasional juga telah sampai di pelosok Mukomuko. Sudah terdapat masjid yang dulu dikelola ala NU kini telah dikuasai fihak lain. Berbagai bentuk kampanye dilakukan untuk merebut massa NU, namun berkat keikhlasan para kiai dan pengurus dalam menjalankan dakwah, NU tetap solid. Kegiatan dibaan, istighotsah, yasinan bahtsul masail dan kegiatan ala NU lainnya tetap dijalankan.

Juga dituturkan meskipun banyak rumah yang roboh, warga masih bisa bersyukur bahwa perkebunan sawit dan karet yang mereka miliki masih tetap bertahan. Awal-awal terjadinya bencana, mereka sangat khawatir jalanan rusak sehingga ditakutkan tak bisa menjual panen sawit dan kehabisan bahan pangan.

Warga berharap bisa segera merehabilitasi rumah dan bangunan yang rusak dari hasil penjualan hasil perkebunan yang mereka miliki. “Hari ini harga sawit turun, Cuma 1.100 rupiah per kilo,” tutur salah satu nahdliyin.

“Kami berharap rombongan PBNU bisa melihat rumah-rumah warga kita dan pesantren kami yang roboh.,” tutur Kiai Yasirun.

Rasa gembira atas kedatangan tim penanggulangan bencana PBNU juga diungkapkan oleh Sugiono yang mengikuti pengobatan gratis yang digelar di Ponpes Sabilul Huda di desa Bukit Makmur Kec. Ketahun Bengkulu Utara. “Terima kasih ya mas, sudah mengunjungi kami. Disini belum ada pengobatan dari pemerintah,” tuturnya.

Di pesantren ini, bangunan madrasah bantuan dari pemerintah retak-retak dan tak bisa digunakan lagi, tapi masjid yang dibangun dari hasil gotong royong tetap berdiri kokoh. Sebagian penduduk disini merupakan para transmigran yang datang era 80-an dari Wonogiri yang pindah ketika ada pembangunan waduk Gajah Mungkur. Berkat karet dan sawit, kini mereka jauh lebih makmur daripada ketika hidup di pulau Jawa. Setahun atau dua tahun sekali, mereka masih menengok sanak famili di kampung.

Pesantren Sabilul Huda yang diasuh Kiai Wahid (35) sebelumnya hanya pengajian langgar yang mengajar ngaji anak-anak para transmigran. Atas inisiatif bersama, keberadaan lembaga ini terus dikembangkan untuk menjaga dan mentransfer nilai-nilai keislaman dan ke-NU-an kepada generasi penerus. Disini pula kantor secretariat Pengurus Anak Cabang GP Ansor Didirikan dan melaksanakan berbagai kegiatan. (mkf)


Terkait