Warta

PBNU Akan Pelajari Reformasi di Cina dan Rusia

Selasa, 12 Juni 2007 | 09:44 WIB

Jakarta, NU Online
Proses reformasi di Indonesia yang berlangsung sejak tahun 1998 dinilai banyak kalangan belum memenuhi harapan besar rakyat di negeri ini. Karena itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) akan mencari perbandingan-perbandingan dengan berupaya mempelajari proses reformasi di sejumlah negara, seperti Cina dan Rusia.

Demikian diungkapkan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi dalam sambutannya pada Diskusi Kebangsaan bertajuk “Legalitas Amandemen Undang-undang Dasar 1945: Prosedur Hukum dan Dimensi Politik” di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Selasa (12/6)

<>

PBNU, menurut Hasyim, mencermati proses berjalannya reformasi, terutama dari segi konstitusi negara, yakni UUD 1945, yang sudah mengalami perubahan atau amandemen sebanyak 4 kali pada kurun waktu tahun 1999-2002. Amandemen yang merubah susunan lembaga-lembaga dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia itu dinilai sedang dalam polemik.

Sebagai organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia dan merupakan bagian dari bangsa dan negara, kata Hasyim, NU merasa perlu memberikan masukan terkait proses reformasi yang berjalan. Sejumlah negara yang berpengalaman dalam hal tersebut perlu dijadikan bahan pelajaran.

“Cina, salah satu negara yang boleh dikata sukses menjalankan reformasi, seperti yang diperkenalkan (tokoh reformis Cina, Red) Deng Xiao Ping dengan reformasi ekonomi yang dramatis pada tahun 1980-an. Kita juga perlu belajar dari sana,” terang Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam, Malang, Jawa Timur, itu.

Demikian juga dengan Rusia. Menurut Hasyim, kebijakan “Glassnot dan Prestorika” (pembaruan dan keterbukaan) Michael Gorbachev dapat menjadi bahan perbandingan bagi Indonesia. “Mengapa Rusia tidak ‘seberuntung’ Cina. Karena itu, insya Allah, akhir bulan Agustus mendatang kita (PBNU) akan mengirim tim ke Rusia untuk mempelajari itu,” tandasnya.

Hasyim mengungkapkan, reformasi yang berjalan saat ini tidak memiliki arah yang jelas. “Kalau zaman Bung Karno (Soekarno, Red), basisnya jelas; teori revolusioner yang kemudian menjadi ajaran Soekarno dan berikutnya menjadi kebijakan revolusioner,” ujarnya.

Begitu juga, lanjutnya, pada era Orde Baru (Orba) yang dipimpin Soeharto. Orba mencoba ‘meluruskan’ Pancasila melalui berbagai macam lembaga-lembaga negara yang ada saat itu. “Lahirlah kemudian kebijakan-kebijakan yang sentralistik (terpusat). Sentralistik dalam bidang ekonomi, sosial, politik, dan sebagainya,” katanya.

“Nah, di era reformasi ini seperti apa? Apakah yang sekarang ini (baca: reformasi) merupakan rekonstruksi ataukah reaksi terhadap Orde Baru,” tambah mantan Ketua Pengurus Wilayah NU Jatim tersebut. (rif)


Terkait