Warta

PBNU Minta Nahdliyin Bentuk Kepengurusan NU di Masjid-masjid

Rabu, 21 Maret 2007 | 09:54 WIB

Bekasi, NU Online
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) minta warga nahdliyin (sebutan untuk warga NU) agar membentuk kepengurusan NU di masjid-masjid di daerahnya masing-masing. Hal itu dilakukan sebagai salah satu upaya mencegah pengambilalihan masjid-masjid nahdliyin oleh kelompok lain.

"Tingkatannya bisa pengurus ranting, jika itu satu-satunya masjid  yang ada di desa tersebut atau pengurus anak ranting, jika di desa itu lebih dari satu masjid,” ujar Ketua PBNU Masdar Farid Mas’udi dalam acara Sosialisasi Kemasjidan dalam Konteks Penguatan dan Pengamanan Organisasi NU di Masjid An-Namirah, Asrama Haji Bekasi, Jawa Barat, Senin, (19/3) lalu.

<>

Dilaporkan Kontributor NU Online di Bekasi Eko Agus Priyono, dalam acara yang diikuti pengurus masjid, pengurus Majelis Wakil Cabang NU, badan otonom, lajnah dan lembaga di lingkungan Pengurus Cabang NU Kota Bekasi itu, Masdar mengungkapkan, pada dasarnya kekuatan NU berada pada masjid. Menurutnya, masjid adalah basis organisasi sedangkan pesantren merupakan basis kultural

ADVERTISEMENT BY OPTAD

“Kenapa masjid, karena masjid-masjid nahdliyin diperkirakan masih mencakup 70 persen dari seluruh masjid yang ada di negeri ini. Oleh karena itu, agenda mendesak yang harus dilakukan adalah NU harus berdiri di atas dua kaki,” terang Masdar yang juga Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M)

Tradisi-tradisi kultural keagamaan yang khas NU, menurut Masdar, mudah ditemukan di seluruh pelosok Nusantara. Hal itu merupakan salah satu bukti betapa NU memiliki basis masjid yang cukup besar. “Inilah sektor yang kini tengah terancam dan selama ini paling sedikit disentuh. Padahal ini adalah kekuatan penentu dan sumber legitimasi sebuah organisasi,” tandasnya.

Dalam kesempatan itu, mantan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia itu menjelaskan, tuduhan bahwa tradisi-tradisi keagamaan NU adalah sesat, sama sekali tidak benar dan tidak beralasan. Menurutnya, tradisi keagamaan khas NU seperti tahlil, qunut, wirid, talqin, membaca salawat, dan lain-lain, merupakan tradisi yang sudah berkembang sejak berabad-abad lalu.

Tradisi tersebut, imbuh Masdar, disebut NU kultural. “Kemudian, tahun 31 Januari 1926 NU Kultural itu dilembagakan dalam bentuk formal organisasi, sehingga sering diidentikan dengan NU struktural,” terang Alumnus Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta itu.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Ditambahkan, pada kenyataannya saat ini, NU seperti pohon tanpa akar yang menyerap nutrisi bumi. “Jika tampak subur, maka ia (NU, Red) adalah pohon tiruan, jika pohon sungguhan pasti kurus. Keduanya tidak menghasilkan buah. Atau, kalau diibaratkan mendorong mobil mogok, tapi karena mendorongnya sendiri-sendiri walau didorong puluhan juta warga, belum juga bisa jalan itu mobil. Tapi kalau umat lainnya, hanya puluhan orang yang dorong tapi bersama-sama, maka bisa jalan itu mobil,” papar Masdar. (rif)


Terkait