Warta

PBNU Minta Negara Miliki Political Will atasi Pornografi

Jumat, 6 April 2007 | 08:10 WIB

Jakarta, NU Online
Rais Syuriyah PBNU KH Hafidz Utsman berharap agar pemerintah memiliki political will dalam mengatur pornografi yang belakangan ini semakin marak. Jika hal tersebut dilakukan, maka Pelaku industri pornografi bisa dijerat hukum.

Sebelumnya, pada Kamis, 5 April, Erwin Arnada pimred dan juga Direktur Operasional PT Velvet Silver Media, dibebaskan dari dakwaan yang bisa membuatnya harus masuk ke hotel prodeo.

<>

Erwin bertanggung jawab penuh atas penerbitan Playboy Indonesia edisi April hingga Juli 2006. Ia didakwa pasal 282 ayat 1 KUHP jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP. Dan dakwaan lebih subsider diancam pasal 282 ayat 2 KUHP jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP. Hukuman maksimal pelanggaran pasal 282 ayat 1 KUHP tentang kesopanan dan kesusilaan adalah penjara 2 tahun 8 bulan

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Majelis hakim berpendapat JPU tidak cermat menyusun dakwaan. Hanya menggunakan pasal 282 KUHP, tidak dengan UU nomor 40/1999 tentang Pers yang sifatnya khusus. Menimbang dakwaan tidak dapat diterima dan beban perkara dibebankan kepada negara," kata ketua majelis hakim Erfan Basuning.

Pembebasan pimred Playboy ini akan semakin melegitimasi keberadaan majalah syur tersebut sehingga ia akan dengan bebas malakukan ekspansi yang akan mempercepat degradasi moral anak bangsa.

Ketua MUI Jabar tersebut menuturkan sebenarnya banyak aturan yang bisa digunakan untuk menjerat pelaku pornografi. Disebutkan dalam UU No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah terdapat aturan tentang perlindungan, keteraturan sosial, maupun ketenangan agama yang bisa digunakan.

Memang diakuinya bahwa pornografi yang dalam Islam bagian dari perbuatan mungkarat susah ditangani dan sudah disentuh oleh hukum. Untuk itu, ia berharap agar semua organisasi Islam bahu membahu mengembangkan dakwah dan turut mewarnai aturan perundangan yang layak dipakai oleh umat beragama.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Diingatkan bahwa aturan tersebut tidak harus secara formal menamakan diri dengan perda syariah yang belakangan malah menimbulkan ketakutan bagi sebagian kalangan. “Hukum pidana saat ini sebenarnya sudah mencerminkan nilai-nilai syariah, tinggal bagaimana kita menegakkannya,” tegasnya. (mkf)


Terkait