Warta

Pemerintah Berhak Tetapkan Awal Bulan

Jumat, 22 Desember 2006 | 04:41 WIB

Semarang, NU Online
Pemerintah berhak menetapkan awal bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah dan mengakhiri berbagai perbedaan dengan cara yang bijaksana. Berbeda dengan negara-negara Islam yang lain, berdasarkan kaidah hukum positif di Indonesia, penetapan ini tidak berada di tangan Mahkamah Agung, tetapi merupakan wewenang Departemen Agama (Depag).

“Penentuan awal bulan Hijriyah bukan persoalan lagi fikih ibadah saja karena ini sudah menyangkut persoalan kemasyarakatan,” kata Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama KH. Nazaruddin Umar saat memberikan materi kepada para peserta Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Nasional Pelaksana Rukyat Nahdlatul Ulama di komplek Masjid Agung Semarang, Jawa Tengah, Kamis (21/12) malam.<>Jika dipandang perlu, kata Nazaruddin, pemerintah berhak campur tangan mengatasi perbedaan yang ada dalam tubuh satu organisai Islam atau antar organisasi. Berdasarkan kaidah fikih, keputusan pemerintah wajib di patuhi dan secara otomatis menghilangkan berbagai perbedaan pendapat.

“Kita akan berdosa jika membiarkan perpecahan terjadi. Sebaliknya, jika kita melakukan upaya upaya untuk menghentikan perpecakan berarti kita telah melakukan jihad, karena jihad itu tidak ahanya perang saja,” kata Nazar.

Menurut Katib Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu, perbedaan yang terjadi dalam penentuan awal bulan Hijriyah, terutama bulan Syawal bukan lagi perbedaan yang dikatagorikan sebagai rahmat Tuhan, tapi sudah mengarah kepada perpecahan umat.

Sudah Berlalu

Rais Syuriah PBNU KH. Maghfur Utsman pada kesempatan yang sama berharap perbedaan yang terjadi dalam penentuan awal bulan Hijriyah, sebagaimana terjadi pada penentuan awal Syawal 1427 H kemarin tidak terjadi lagi pada tahun-tahun berikutnya.

“Berdasarkan perihitungan ilmu hisab, pada syawal tahun depan dimungkinkan terjadi perbedaan. Maka yang perlu kita fikirkan adalah bagaimana tidak terjadi lagi perbedaan, karena itu tidak menguntungkan bagi syi’ar Islam,” kata Kiai Maghfur. (nam)