Pengamat: NU Bisa Jadi “Penjaga Moral” Bangsa Seperti Gandhi di India
Senin, 11 Mei 2009 | 11:39 WIB
Nahdlatul Ulama (NU), sebagai organisasi kemasyarakatan, bisa menjadi “penjaga moral” bangsa seperti posisi pemimpin spiritual Mahatma Gandhi—serta ajarannya—di India. Perubahan kepemimpinan politik di negara itu tak serta-merta mengubah kepemimpinan moral. Ajaran Gandhi tetap menjadi rujukan moral bagi rakyat India.
Pendapat tersebut dikemukakan Pengamat Politik dari Universitas Paramadina, Jakarta, Yudi Latif, dalam diskusi bertajuk NU dan Politik Kebangsaan di Kantor Pengurus Besar NU, Jakarta, Senin (11/5) siang.<>
“Di India, ada (Perdana Menteri India ke-1, Jawaharlal) Nehru yang merupakan pemimpin politik dan ada (Mahatma) Gandhi sebagai pemimpin civil society (masyarakat sipil). Sampai sekarang, urusan moralitas di India, masih dipimpin Gandhi,” ujar Yudi.
Karena itulah, menurut Yudi, posisi NU yang tidak berpolitik praktis adalah posisi yang sangat tepat dan tidak perlu diubah lagi. “Tapi, batas antara politik praktis dan politik yang tidak praktis itu, terkadang hampir tidak ada bedanya,” tandasnya.
Maka, lanjut Yudi, NU harus mempertegas batas posisi itu. Sebab, sekali NU masuk ke wilayah politik praktis, sulit untuk kembali pada posisi semula sebagai penjaga moral. Akibatnya pula, fungsi penjaga moral bangsa seperti yang dicita-citakan semula tidak terjadi.
Namun, imbuhnya, posisi itu harus pula diimbangi dengan gerakan politik, meski bukan politik kekuasaan. NU tidak bisa tinggal diam jika melihat penyimpangan dalam wilayah politik praktis. Ormas Islam terbesar di Indonesia itu harus melakukan tekanan-tekanan tertentu pada kekuasaan yang dianggap mulai menyimpang.
Hal serupa disampaikan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah, Laode Ida, yang juga hadir sebagai narasumber pada diskusi itu. Menurut dia, NU harus tegas menjalankan fungsinya. Wilayah politik praktis, katanya, serahkan saja pada yang memang berwenang, yakni partai politik.
Strategi NU membentuk partai politik, yakni Partai Kebangkitan Bangsa, ujarnya, sesungguhnya merupakan langkah yang sangat bagus. Namun, belakangan, strategi itu menjadi tidak efektif saat hampir seluruh potensi NU seperti terserap ke wilayah politik praktis. “Terutama saat Gus Dur (Abdurrahman Wahid) menjadi presiden, semua masuk politik,” ujarnya.
Fenomena tersebut, imbuhnya, semakin berakibat buruk pada NU saat parpol yang dibentuknya berkali-kali mengalami konflik internal. “Akibatnya, kekuatan NU tercera-berai. NU dianggap sangat rapuh dan tidak bisa dijadikan modal sosial untuk menyelesaikan berbagai persoalan bangsa,” jelasnya.
Jika fenomena tersebut tidak segera diatasi, kata Laode, NU akan cenderung diabaikan dalam dalam proses berbangsa dan bernegara. Sebab, para elite di NU akan lebih disibukkan mengurus masalah konflik internal daripada memperhatikan persoalan bangsa dan negara yang lebih besar. (rif)