Warta

Penyelesaian Lumpur Lapindo Bisa Mengacu India

Sabtu, 16 Juni 2007 | 08:55 WIB

Malang, NU Online
Rumitnya penyelesaian semburan lumpur di Porong, terus mendapatkan kecaman dari banyak pihak. Sebab, meski sudah berlangsung selama satu tahun, hingga kini masih belum menunjukkan tanda-tanda penyelesaian.

Sementara masyarakat yang menjadi korban semakin banyak jumlahnya. Bahkan dengan semakin seringnya Lapindo ingkar janji dan mempersulit persyaratan ganti rugi tanah, menjadikan warga semakin menderita.

<>

“Sebenarnya, penyelesaian masalah itu tidak sesulit yang dibayangkan,” tutur budayawan Agus Sunyoto, saat ditemui di kediamannya, Sawojojar, Malang, Sabtu (16/6).

Menurut Agus, pemerintah bisa mengacu pada peristiwa yang sama di Bhopal, India. Kala itu pemerintah India bisa bertindak efektif. Seluruh penduduk dievakuasi dan diberi ganti rugi dengan menggunakan dana pemerintah, setelah lumpur diselesaikan oleh pemerintah, lalu pemerintah minta ganti rugi pada perusahaan.

“Kalau you tidak mau bayar ganti rugi, silahkan, penjara sudah menanti,” kata Agus menirukan ancaman pemrintah India kala itu. Akhirnya perusahaan mau mengganti rugi, dan permasalahan cepat terselesaikan, tidak sampai berkepanjangan.

Disinggung tentang penyebab semburan lumpur Lapindo yang belum jelas antara kecerobohan dan bencana alam, Agus bersikeras sudah jelas karena ulah Lapindo yang sembrono. “Sudah jelas kok, ngebor itu tidak boleh lebih dari 3000 kaki, Lapindo malah ngebor 9000 kaki. Kan sudah jelas itu,” sergahnya.

Dosen Sastra Inggris Unibraw Malang itu menegaskan, rumitnya penyelesaian masalah semburan Lumpur Lapindo saat ini, dikarenakan negara saat ini sudah dikuasai oleh kaum kapitalis. Karena mereka sudah berkuasa, tangan-tangan hukum menjadi lemah. Segala perangkat aturan menjadi tidak berdaya ketika harus berhadapan dengan pemilik modal. “Kalau kondisi seperti ini diterus-teruskan, akan bangkrut negara ini,” tandas penulis kenamaan itu.

Sebenarnya, menurut Agus, masyarakat Indonesia sudah banyak yang melek hukum. Mereka sebenarnya sudah tahu segala permainan penguasa yang suka mempermainkan aturan untuk mengalahkan masyarakat bawah dan memenangkan pemilik modal.

“Akhirnya kita ini pintar bukan karena rajin belajar, tapi terlalu sering diakali,” ujarnya sambil tertawa. (sbh)


Terkait