Masyarakat diminta tidak tersesat dalam membaca kalender yang menyebutkan Idul Fitri 1430 Hijriyah jatuh pada Senin, 21 September, karena berdasarkan perhitungan astronomi, maka Idul Fitri jatuh pada Ahad, 20 September 2009.
"Selama ini, kalendernya salah menyebutkan. Yang benar Senin-Selasa, 21-22 September adalah libur Idul Fitri karena Idul Fitri jatuh pada Ahad, tanggal merah," kata Peneliti Utama Astronomi-Astrofisika Lapan (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) Dr Thomas Djamaluddin di Jakarta, Rabu (16/9).<>
Anggota Badan Hisab Rukyat (BHR) Depag itu mencontohkan, hari besar Maulid Nabi yang jatuh pada Ahad kemudian hari liburnya akan digeser ke Senin keesokan harinya. Hal ini menimbulkan salah interpretasi para pembuat kalender.
Dr Thomas Djamaludin mengatakan ijtimak awal Syawal terjadi pada 19 September 2009 pukul 01.45 WIB sehingga pada saat maghrib 19 September 2009, bulan cukup tinggi, lebih dari empat derajat di seluruh wilayah Indonesia, sehingga hilal (bulan) sangat mungkin untuk di-rukyat (dilihat).
Pada 20 September sudah memasuki bulan baru yakni bulan Syawal, dan Idul Fitri 1430 H bertepatan dengan 1 Syawal 20 September 2009.
Namun, masih tetap harus ada sidang itsbat para tokoh ormas Islam pada Sabtu, 19 September untuk memastikannya serta pengumuman Menteri Agama yang mensahkannya.
Sidang itsbat akan dihadiri perwakilan berbagai ormas Islam, para pakar hisab-rukyat, dan instansi terkait seperti Lapan, Observatorium Bosscha ITB, Planetarium Jakarta, BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika), serta Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal).
Menurut dia, untuk wilayah Indonesia ketinggian hilal empat sampai enam derajat menurut pengalaman akan berhasil diamati, apalagi ada 40 titik pengamatan di seluruh Indonesia, baik yang digelar oleh Depag, maupun dari ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU) hingga masyarakat seperti Masjid Salman ITB.
"Dari kondisi cuaca, bulan cukup memungkinkan untuk dilihat pada saat sidang itsbat meskipun ada kemungkinan mendung dan tertutup awan," katanya.
Ditanya, jika ternyata di 40 titik seluruh Indonesia tak ada yang bisa melihat bulan, menurut Djamal, sidang itsbat akan mempertimbangkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 1981.
Fatwa itu menyebut: saat hilal tak terlihat tapi secara perhitungan sebelumnya biasanya hilal bisa diamati, maka tetap akan dijadikan patokan awal bulan. (ant/rif)