Warta

Politik telah Merusak Harmoni Pesantren

Kamis, 28 Juni 2007 | 13:03 WIB

Jakarta, NU Online
Pertarungan politik untuk memperebutkan kekuasaan yang terjadi pasca reformasi telah merusak harmoni dalam pesantren. Para politisi melakukan bujuk rayu pada para pengasuh pesantren untuk mendukung partainya demi meraih kekuasaan.

“Perbedaan orientasi politik terjadi antara satu pesantren dengan pesantren lainnya, bahkan di dalam satu pesantren. PKB mengajak satu anak kiai, PPP mengajak anak yang lainnnya, demikian pula PDIP sehingga harmoni menjadi hilang,” tutur Acep Zamzam Nur, putra KH Ilyas Ruhyat dari Ponpes Cipasung Tasikmalaya dalam acara seminar Mempertajam Kapasitas Pesantren sebagai Agen Pengelola Konflik di Jakarta, Kamis.

<>

Mulai masuknya kepentingan luar ini salah satunya dikarenakan pesantren mulai kehilangan kemandiriannya akibat perubahan zaman yang telah menyebabkan perubahan kondisi sosial ekonomi yang juga mempengaruhi pesantren.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Dikatakannya pada zaman dahulu, sebenarnya pesantren merupakan sebuah institusi yang sangat independen. Pendirian pesantren di daerah-daerah pinggiran pada zaman Belanda merupakan upaya para kiai untuk menjauhkan diri dari kooptasi para penjajah. Pesantren secara ekonomi bisa mandiri karena memiliki lahan yang luas yang bisa menghidupi dirinya. Lulusan pesantren juga tidak memerlukan ijazah dari pemerintah untuk masuk birokrasi karena para santri bisa mandiri.

Kang Acep yang juga seorang penyair ini menuturkan pada masa lalu, pendirian pesantren benar-benar dimulai dari nol. Seorang santri yang baru pulang dari pesantren biasanya ngajar penduduk desa di langgar, kemudian pengajiannya terus berkembang menjadi masjid yang lalu dibangun satu-dua kamar untuk pondokan untuk santri dari luar desa yang akhirnya menjadi pesantren dan terus berkembang.

“Ini menyebabkan pesantren-pesantren lama betul-betul mengakar dalam masyarakat karena mereka tumbuh dari bawah. Berbeda dengan pesantren baru yang sudah disediakan duit milyaran, mendirikan bangunan, cari ustadznya, baru cari santrinya,” tandasnya.

Tentang peran sebagai agen pengelola konflik, Acep menuturkan bahwa istilah ini tak dikenal dalam pesantren, tetapi peran tersebut telah lama dilakukan oleh pesantaren ketika masyarakat mengadukan berbagai persoalannya mulai dari persoalan rumah tangga, ekonomi, pertanian dan lainnya kepada kiai untuk dicarikan pemecahannya. (mkf)

ADVERTISEMENT BY OPTAD


Terkait