Pengurus Pusat Lajnah Ta’lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama (PP LTN NU) bekerja sama dengan sejumlah pihak akan memperjuangkan hak penulis kitab Sirajut Thalibin, Syekh Ihsan bin Dahlan (alm) yang diwakili oleh keluarganya.
Ketua PP LTN Abdul Mun’im DZ di Jakarta, Sabtu (25/7) menyatakan, pihaknya telah mengumpulkan sejumlah informasi terkait kasus pembajakan kitab Sirajut Thalibin oleh Darul Kutub Al-Ilmiyah, Lebanon, menghubungi beberapa kiai dan pihak pihak terkait, dan menemui keluarga Syekh Ihsan d<>i Kediri, Jawa Timur.
Informasi yang dihimpun NU Online, kitab Sirajut Thalibin dicetak pertama kali pada 1955 oleh penerbit Syirkah Maktabah wa Matba’ah Musthafa al-Babi al-Halabi di Mesir, lalu pada tahun 1990-an diterbitkan oleh Darul Fiqr, Beirut, Lebanon. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari pihak keluarga, tidak ada konfirmasi kepada keluarga atas peralihan penerbitan dari Musthafa al-Babi al-Halabi ke Darul Fiqr.
Bahkan keluarga selama ini belum pernah mendapatkan kompensasi apapun dari Darul Fiqr. ”Kami dikirim kitap pun tidak,” kata KH Abidurrahman atau Gus Abid, salah yang meneruskan pengajian rutin kitab Sirajut Thalibin di Masjid Pondok Pesantren Nurul Amin, Jampes, Kediri, salah satu pesantren milik keluarga Syekh Ihsan.
Pada 2006 penerbit Darul Kutub Al-Ilmiyah yang juga di Beirut Lebanon menerbitkan kitab Sirajut Thalibin persis dengan kitab aslinya, namun mengganti nama pengarangnya menjadi Syekh Ahmad Zaini Dahlan baik di sampul dan halaman pengantar, serta menambahkan biografi Ahmad Zaini Dahlan di kitab itu.
Tidak hanya itu Darul Kutub Al-Ilmiyah juga membuang taqridhah atau semacam pengantar dari pendiri NU Syekh KH Hasyim Asy’ary Jombang, Syekh KH Abdur Rahman bin Abdul Karim Kediri dan Syekh KH Muhammad Yunus Abdullah Kediri.
Menurut Mun’im, PP LTN akan melakukan klarifikasi dan tuntutan kepada dua penerbit sekaligus, yakni Darul Kutub Al-Ilmiyah atas tuduhan pembajakan kitab Sirajut Thalibin, dan Penerbit Darul Fiqr yang tidak memberikan kompensasi atau kepada pihak keluarga di Jampes, Kediri.
”Jangankan memberikan royalti, sekadar pemberian kitab sebagai tanda bukti, atau ucapan terima kasih kepada penulis kitab dan keluarganya itu tidak pernah diberikan oleh penerbit yang ada,” kata ketua lajnah di NU yang membidangi penelitian, penerbitan dan infomedia itu.
Menurutnya, PP LTN NU dengan segenap jajaran PBNU dan pengurus cabang istimewa (PCINU) di luar negeri, bekerjasama dengan pihak kedutaan besar RI akan berusaha keras untuk meluruskan penyimpangan ini.
”Ini bisa merupakan sebuah upaya besar politik kebudayaan yang sedang mereka kembangkan, yakni sebuah imperialisme kebudayaan Arab atas Kebudayaan Nusantara. Kalau hal itu dilakukan secara terus-menerus sumber pengetahuan dari Nusantara akan diserap ke Timur Tengah, sementara masyarakat Islam Nusantara telah mampu memberikan corak pemikiran dan keislaman sendiri yang khas Nusantara,” katanya. (nam)