Jakarta, NU Online
Bangsa Indonesia kembali kehilangan putra terbaiknya. Sastrawan dan budayawan besar Pramoedya Ananta Toer tutup usia, Minggu (30/4) sekitar pukul 08.30 WIB di kediamannya, Jalan Multikarya II No 26, Utan Kayu, Jakarta Timur.
Pram, demikian pria yang pernah dinobatkan sebagai orang paling berpengaruh versi Majalah Time ini meninggal di usia 81 tahun. Pram dirawat di rumahnya sejak Sabtu sekitar pukul 19.00 WIB karena ia meminta pulang ketika sedang menjalani perawatan di ICU Rumah Sakit (RS) St Carolus Jakarta. Di RS tersebut ia dirawat sejak Kamis (27/4) malam, karena keluhan nyeri di dada, sesak nafas dan lemah karena sudah seminggu tidak mau makan.
<>Sepanjang Sabtu malam sampai Minggu pagi, Pram berkali-kali melewati masa krisis tetapi ia sempat terjaga dan meminta lampu-lampu untuk dipadamkan serta bertanya: "Apakah sampah sudah dibakar?."
Minggu (30/4) siang, jenazah Pram dimakamkan di TPU Karet Bivak, Pejompongan, Jakarta. Pemakaman Pram lebih cepat dari jadwal. Pasalnya, menurut rencana, Pram akan dimakamkan setelah solat ashar. Namun keluarga memutuskan untuk memberangkatkan ke TPU tersebut pada pukul 13.50 WIB.
Ratusan pelayat tampak memenuhi rumah dan pekarangan sastrawan kelahiran Blora pada 6 Februari 1925 silam. Pelayat yang hadir antara lain Sitor Situmorang, Erry Riyana Hardjapamekas, Nurul Arifin dan suami, Usman Hamid, Putu Wijaya, Goenawan Moehammad dan Gus Solah. Hadir juga Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik. Teman-teman Pram yang pernah ditahan di Pulau Buru juga hadir. Temasuk para anak muda fans Pram.
Sastrawan yang secara internasional sering dijuluki Albert Camus Indonesia ini termasuk dalam 100 pengarang dunia yang karyanya harus dibaca sejajar dengan John Steinbejk, Graham Greene dan Bertolt Berecht.
Profil Pram juga pernah ditulis di New Yorker, The New York Time dan banyak publikasi dunia lainnya. Karya-karyanya juga sudah diterjemahkan dalam lebih dari 36 bahasa asing termasuk bahasa Yunani, Tagalok dan Mahalayam.
Tak hanya itu. Karena karya-karya monumentalnya, Pram sejak 1981 menjadi kandidat penerima Nobel dalam bidang sastra. Filipina menghargai kehebatan Pram dengan anugerah Magsaysay.
Sejak muda, Pram akrab dengan penjara. Dia pernah ditahan pada tahun 1947-1949. Tahun 1965 hingga 1979, dia pun kembali ditahan di beberapa tempat seperti di penjara Jakarta, Tangerang, Nusakambangan, Magelang, Semarang dan Pulau Buru.
Seiring dengan runtuhnya Orba, buku-buku mantan aktivis Lekra—organisasi kesenian di bawah PKI (Partai Komunis Indonesia) yang pernah dilarang beredar ini diterbitkan ulang dan cukup laris di pasaran. Karya-karya Pram yang terkenal antara lain tetralogi Bumi Manusia (diterjemahkan ke 33 bahasa), Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca, dan Bukan Pasar Malam. (rif)